Sabtu, 26 November 2011

Angel Fair - Indonesian Translation

By: Janti Fitri


Pernah nggak tahu rasanya jadi wanita kedua? Jangan deh, jangan pernah menjadi wanita kedua. Tapi itu terjadi pada Kirana, perempuan usia 29 tahun dan berprofesi sebagai jurnalis.

Perkenalan singkatnya dengan Awang terjadi pada saat Kirana meliput banjir di Semarang. Ah…ceritanya cukup heroik. Saat itu Kirana tengah mengambil gambar, mendadak air mengalir dengan derasnya dan hampir menyapu Kirana, tepat saat itu Awang berada di situ dan menyelamatkannya. Entah bagaimana kisahnya, akhirnya mereka bertukar nomor telpon dan sejak itu mereka telpon-telponan.
Ah…cinta memang kadang unik, jarak membuat Kirana dan Awang menjadi lebih dekat. Dan cinta itu memang luar biasa, mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang dicintainya. Seperti petang itu, Kirana sedang sedih banget, soalnya, dia habis dimarahin bosnya. Kirana benar-benar membutuhkan Awang pada saat seperti ini, tetapi ketika Kirana mengirim pesan singkatnya, jawaban di ujung sana garing banget, “Lagi ada rapat.”
“Kok sadis banget ngomongnya, biasanya kan nggak begitu?” batin Kirana. Hati Kirana mulai berdebar, apakah mungkin ada yang lain di sisi Awang, apakah yang menjawab tadi bukan Awang? Tapi itu mungkin saja bisa terjadi, lanjut hati Kirana, Awang tidak pernah mau dihubungi pada malam hari ataupun hari libur. Awang selalu berpesan biarlah Awang yang menelpon dulu, bukan Kirana. Ah…bukankah mendengarkan kata hati itu perlu, cinta itu berasal dari hati baru kemudian pikiran, kalau saat ini kedua unsur itu setuju, berarti tidak ada salahnya kalau membiarkan kecurigaan itu berlanjut. Maka, Kirana melanjutkan mengirim pesan singkatnya, “Ah…paling nggak rapat, paling lagi mandiin anak tuh..” Dan jawaban di ujung sana adalah, “Iya” hanya itu? Sesingkat itu? Itu bukan Awang. Hari yang sangat buruk bagi Kirana, dia mengharapkan seseorang akan mendampinginya dalam masalah ini, tetapi orang yang diharapkan pun tidak memberikan itu, malahan menjadikannya semakin buruk.
Siang ini, Kirana nekat pergi ke Semarang dia harus bertemu dengan Awang, Awang harus menjelaskan ini. Walaupun hati Kirana sudah cukup siap dengan apapun hasil terburuk, tetapi air mata Kirana masih saja tetap mengalir di pipinya setiap mengenang Awang. Tetapi semuanya itu harus diputuskan hari ini juga, semuanya harus selesai.
Kirana sudah duduk di sebuah kedai makan menanti kedatangan Awang hari ini. Kirana sibuk menata hatinya, dia tidak mau jika bertemu Awang nanti dia menangis. Memang, airmata itu sudah terhenti, tetapi lebam matanya tidak mudah hilang secepat itu.
Setelah berjam-jam Kirana menanti Awang, akhirnya Awang datang juga. Wajahnya memang agak berbeda kali ini, lebih pucat dan berkeringat. Langkahnya tergesa menghampiri Kirana yang sudah menantinya. Hati Awang semakin berdebar begitu melihat mata lebam Kirana, “Hai, sudah lama nunggunya?” Kirana hanya menggeleng sambil tersenyum. Awang duduk di depan Kirana, sambil membuka menu makan siang di kedai itu.
Untuk beberapa waktu yang lama mereka saling terdiam, Kirana menunduk sambil menikmati makan siangnya. Katanya setelah lama terdiam, “Katakan padaku, kau sudah menikah ya?”
Awang terkesiap mendengar perkataan Kirana, “Aku…” Awang tidak melanjutkan perkataannya. Desahan panjang dan berat terhempas dari hidung Awang. Awang kemudian menyentuh tangan Kirana dan berkata, “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membohongimu. Tetapi sejak bertemu kamu pertama kali rasanya aku jatuh cinta lagi. Seperti cinta pertama. Aku tidak bisa membohongi perasaanku. Aku mencintaimu, tapi pertemuan kita memang tidak tepat. Aku menyesali pertemuan kita ini, mengapa kita tak berjumpa pada waktu dulu. Sehingga aku bisa hidup bersamamu selamanya.”
“Apakah kau tak mencintai isterimu?” Kirana memotong permohonan maaf dari Awang karena sudah tak sanggup lagi mendengarkan kata-kata Awang.
“Aku mencintainya. Tapi bersamamu ada yang lain. Seperti cinta pertama.” Awang menatap ke dalam mata Kirana.
“Apakah isterimu tidak sadar kalau kau berselingkuh?” Tanya Kirana dengan nada bergetar.
“Dia tahu. Dan sudah seminggu ini kami bertengkar. Tapi semalam kami sudah baikan.” Awang tersenyum mencoba mencairkan suasana. Tetapi, airmata Kirana malah meleleh di pipinya. Kata Kirana, “Sudah. Kita akhiri saja semua ini. Aku tak mau merusak keluarga yang sudah kau bina selama ini. Dia wanita yang hebat. Walaupun dia sudah mengetahui bahwa suaminya berselingkuh dia tidak melabrak aku. Atau menteror aku. Dia membuatku kagum. Dan aku juga hanya menginginkan suami yang hanya milikku sendiri. Bukan milik orang lain. Aku juga tidak mau mengambilmu dari anak dan isterimu. Aku akan sangat jahat sekali jika aku melakukannya. Kita akhiri saja semua ini dan jangan telpon aku.”
“Jangan. Aku tidak mau berpisah denganmu. Aku sayang kamu. Sungguh. Tapi aku juga sayang isteri dan anakku.” Awang memohon.
“Lalu kau pikir aku ini apa?” pertanyaan Kirana membuat Awang terdiam. Bening di mata Kirana membuat hati Awang tergetar. Awang merasa sangat bersalah sekali baik dengan wanita yang duduk di hadapannya maupun wanita yang telah ia nikahi selama ini. Awang berucap lagi setelah menghembuskan nafas, “Kita tetap temenan ya? Karena tidak semudah itu menghapuskan cintaku padamu. Aku berjanji, setelah kau dapatkan kekasihmu sendiri, aku akan pergi.”
Kirana tidak menjawab. Air matanya luruh jatuh. Selama ini dia paling membenci lelaki yang berselingkuh. Malahan dia sendiri menjadi wanita kedua dalam kehidupan orang lain. Dan lelaki itu adalah lelaki yang sangat ia cintai pula. Apa yang harus dilakukan Kirana? Awang tidak mau diputuskan. Sementara di sisi hatinya yang lain, Kirana takut menghancurkan keluarga orang lain.
Dan Kirana pun kembali pulang tanpa tahu harus bagaimana mengakhirinya………………………….

    

Toraja - Animal for The Funeral

By: Janti Fitri


This buffalo expensive too, but not expensive as the Tedong Bonga
What do you think when you see this big pink buffalo? 
You will say, wow...what a big animal? or wow...what a pink animal? (hahahaa...not so funny i guess...jejeejjeje)


Well....for me, I might say...wow..what an expensive animal!! why so?

Tedong Bonga with lower price
The lowest price buffalo from all Tedong prices
Well..well...in Toraja animals are showing the level of society. There are two animals that used to show the level of society. There are buffaloes and pigs. There are many types of buffaloes that will show your level. The most expensive buffalo that will show your high level is Tedong Bonga. Tedong means buffalo. Tedong bonga is buffalo which has two different color. Tedong bonga's appearance look like dairy cattle. It is white with the black dot (so...please be careful if you are white and have black dots...could be sold...hahahahahaaa......LoL).


Tedong Bonga the expensive one
The rate of the buffaloes amazed me. One buffalo type of Tedong Bonga can be sold with the price of sixty million rupiah (Rp 60,000,000.00 ) or around 6,315.79 USD ( I can buy a house with this amount  of money...hahahahhaa....)
No wonder if this animal used to show the high level of society.


And the most surprising thing for me is, when the funeral ceremony held, people not only need a buffalo, but they need more buffaloes. Because when the funeral ceremony held, all people are invited, including tourist. So, you can imagine, how much money will be needed here to held the funeral party (make me headache...hahahahaa.....).


Buffaloes used as a gift to close family. And one day when your family, as example your cousin held the funeral party, you will return the Tedong with the same price as he/she gave before. WOW!


Beside Tedong as the animal for funeral, there is also another animal that used for the party. It is pig. 


Pig is showing lowest level of society or show that you are only a neighbor. But, Toraja people will shy to give this pig in the funeral because this is show your low level. However, in the party pigs still needed to serve the guests. 


Want to try to held party like this? Well, visit Toraja and join their party.


Sometimes, tourists who visit Toraja will join the party, and they will buy some buffalo in group....and here they come...join the party. Want to try? Just visit Toraja - South Sulawesi, Indonesia, South East Asia.


Want to know more about many stories....well..don't leave this blog. Keep on log on to jantifitri-allstories.blogspot.com, we'll give you all stories here.

Jumat, 18 November 2011

One Finest February

Lonely swan
By: Janti Fitri

I sat on the bank of the lake this evening. I felt so lonely and empty. Maybe like the swimming swan on this lake.
The flowers of flame tree felt down as the wind blew it. Some flowers felt down on my lap. I touched the flowers and I found that flame flowers are wonderful. I looked around and found that so many flame flowers on the ground. It was like a thick carpet.
To my surprise, a young boy came then sat on the bench I sat. He was around 16s years or 17s year old. He was a good looking boy. His skin was white and clean. I thought he know how to dress well.
Suddenly, this young teenager told me some stories. I didn’t know when he started the conversation, but he already told me almost all of his secret stories.  
“What would you think about me? Well, I am only 16, and I should marry tomorrow?” said he. I looked at to his red face. Maybe anger was in this face or maybe just sun burn, not sure.
“Why would you marry that soon? I don’t think that your parents arrange your marriage, right?” I said to this young boy.
“No,” said he. “It was because of….well, no…I don’t know who was doing wrong here. It was just happening. When I realized it, I was bared on my embarrassed. I am only 16 years old and I will be called, Dad. I lost everything. My wonderful youth….uuhhhf.!!! It’s not fair!!” he growled.
“Why should you growled?” I asked him.
“I am sorry. I don’t know to whom I should angry with.” This young boy fell on silence for such a long while. I myself stared to the lake. I was very blank. I even didn’t want to think about anything, not even about the problem I face right now.
“What should I do now?” he asked me again.
“Just do what you should do right now. Maybe your youth end up right now. Be a good father for your child. Don’t let your child do the same mistaken. That’s what you might do, I think.” I said to him. I looked into his face. He was silent and he nodded his head.
“But I am so shy.” Said he.
“Why should you shy? Did you shy when you were doing all of this? You must take all of these consequences. Try to accept all of these consequences for all what you have done.” I said to him.
“It was because of what evil worked!” cried him.
“Why did you blame evil? I think you had called him to be around you. So they came between both of you.” I said to him.
“Am I ready to be a father?” He sighed.
“Ask your heart! How? You know exactly what you want. But I think you asked your heart to do not speak things that you won’t hear.”
Both of us fell in silence. He was with his mind about his early marriage, and me about to found who am I? It was been very complicated.
This lake was getting very quiet.  Again, I felt lonely even I was been accompanied. I realized I also confuse to what I should choose. Stay or leave?
I was living in a heap of illusions. All the catwalks luxurious seem eternal to each eyes that looked at my body which demanded more than just seeing. My night life was staggering my heart. Which way that I should choose? And…all of these thought sink me down on my exhausted.
I was surprised by the young boy. He held my hands and kissed my hands, then said, “Thank you very much for this evening. I got to do something. I don’t want to do wrong again. I want to be a good father.” He stood up then ran to where the sun set.
I looked at him until I couldn’t see him again. Well, how easy to talk but it’s hard to do. That’s the thought on my mind. I just open my mouth and a young boy do what I said, meanwhile I myself not doing things I said.
I remembered what Mom and I argued about this afternoon.
“Josephine, listen to me. I am tired to hear your grievance after the shows. Leave the catwalk and put off what you have right now. Go to England, back to school. Your uncle is waiting for you.”
“But, I love my work, Mom….”
“Love? What is the meaning of love Jo? Grievance? If you love your job, you are willing to bear on all the risks from things that you love.” Said Mom.
“Right, Mom. I already bear on it. I already accept it. I always jealous to couples that passing me by. I am alone because of my work. I do it with all of my heart. I am willing to be alone but I don’t want anybody sees me like that. I hate their eyes. I am a model Mom, I sell mode not my body. I am not the things to be sold.” I almost in tear.
“A willing doesn’t recognize BUT, sweetheart. I am happy you are an autonomous young lady. I am happy you are famous. I am happy you tried hard to prove that a model is not a whore. But what you get from all of these? Emptiness! You prove nothing! Every person is different, sweetheart. As long as there is a model that want to sleep with to lots of men, people will still look at you the same with another.”
Sometimes, I didn’t agree Mom, but right now, I felt really lonely. I need something and it is LOVE! Yeah…love! Love from poet. I felt embarrassed to the young boy. He knew love and I don’t. yeah…I need to be loved. What is love look like?
In my rough mind which I couldn’t stop the storm inside, suddenly, a woman sat beside me and cried. She said, “All the men are the same! All of them jerk! My father had five wives and now my husband. To him, I can’t satisfy him anymore! He cheated me. He has a young girl friend. Well…I am not pretty anymore. I….I am old. Honey, one day if you have husband, make sure that he won’t be like my husband. Let him only love you and loyal to you….” This woman hadn’t finished her words when suddenly a man ran to us. Suddenly this man bended on his knee and held her hands, “My Love, I know you angry to me. But I think you shouldn’t do this to me. I didn’t do the things that you said. I don’t know who told you this lie. If you angry to me because of Saskia, I will answer it. Look over there, My Love. Look!”
The woman who still cried, look to the direction which his husband showed to her. I also looked to the place he showed. I saw a senior high school complete with her uniform stood beside a car which polish well near the park. Said her husband, “Look who is with her!”
A woman gets off from the car. Her face was pale and she wore a jacket and scarf on her neck. She seemed she was recovering from her sick. The woman sigh and said, “Sister Eni?”
“Yes. She is your twin sister who was lost. She was back home because of her husband is died. But soon after she arrived, she sick. I met Saskia accidently. I met her in the hospital. I took care of all the things that your sister and your niece needs. We secretly hide if from you, because we want to make surprise party for you, for tomorrow. But you already angry before the party….so…”
The woman smiled to her husband. She was blushing. Then both of them leave the lake hand by hand. But before they went far, she looked at me and winked at me, seems like wanted to said that what she had told me is not right. I smiled. It was very funny to see what a childish they are.
Looking into this couple made my heart was getting sick. In my youth, I don’t even know about love. All men I loved before was so afraid to me. It was because I am popular, rich, pretty, autonomous, and..and..and..many reasons they told me when they left me.
When the swan is no longer alone
The shadows of the past poison my grey nerve. I am sick of me. Very sick. If only I have a partner, I’m sure they won’t look at me like the way the used to. But…I, I ran to catch the wind. I did it because I want to be accepted by young lady who has same age with me. I don’t want someone looked at me higher or lower. I am the same with everyone. I need to be loved.   
I looked at to the sparkling swan on the lake. Maybe, it felt the same. Ahh…no! There was a white shadow down on the water. The water was splashing and made sparkling water in the air. It was shaking her feather seems like flirting the cob swan. It was very pretty and I thought the cob swan impressed to her. How intimated they were. They made me jealous. No, no time to think about jealous! I would glad to think about another thing. DECISION! That what should I think. Stay or leave!
To my surprised, there came an old man and sat beside me. He started to stare my body, from top of my body down to the bottom of my body. His breath seemed like he was running 10 km. He was like a wolf that found the prey and started to jump over it. He was so nasty.
“Hi, pretty,” Said he, “What you been up to here? Why you would be alone in this beautiful dusk? I don’t mind to accompany.”
I tried to calm my self from the anger. But it was out of my mind, he wasn’t care to my wrinkled face. He looked like enjoy my anger. This old man sat closer to me. I stepped a side. Suddenly, his hand moved to my body. I caught his hand and pulled it away. Finally, he took out his cigar and start to smoking, said he in his conceited, “You are Josephine, right? You should not to be arrogant like that. I know about you. I know every inches of your body.”
“Excuse me, would you mind leave me alone, please?” I said to him.
“Why do you want me to go? It is public area. I can be everywhere in public area. Including you, you are public area too.” He smiled in his deep voice.
“It is public area. But it is not hunting area and I am not your prey.” I said in my anger voice.
“What is different between you and another prey?” his nasty hand tried to touch my body, but suddenly I felt another hand hold me,
“I am sorry, honey. I am sure you have been waiting for me for such a long time. I am sorry I am late.” A young man said to me. He had a good looking. He looked at me right through my eyes, so close to my face. I was staggering by his beauty. He smiled to me in such lovely way. He was so bright in the dusk light.
I was very amazed by him. I even didn’t know when the nasty man left us. I only knew that suddenly, this young man released his hand from my body, then he took a seat beside me and said, “I am sorry, I just try to save you from that man.”
“It is okay. I thank you very much because of this.” I said to him.
I didn’t know where did I started the conversation, but suddenly I had told him about what brought me here without I spelled my name as Josephine, the super model!
This was the first time I listened by someone. It was so relieved. It made me want to start everything from here. I wanted to be Josephine, the ordinary girl.
“I will go to England, but actually I love this place.” I said to him.
“Just do the best. What ever your decision is, it is must be the best. Should you think about disappoint or being disappointed? Don’t let the regret come at the end of your life story. Do the things without any depression from any one or anything. Trust your heart. Believe that your decision is the right decision you make. I am sure you know this much.” He said to me.
“May I, remember you? Well…I mean, soon after I am in England I will miss you. And when I back home, I have a reason to come back home.” I said it with my blushing face.
“Why not? A missing is wonderful thing.” He said that and then smiled.
Swan lake with your swans, I am not alone anymore. I had friend to accompany here. But I will be leaving, but I will back home for sure. Because everything is being started in the bank of Swan Lake on a day on the finest February.




Old Grave in Toraja

By: Janti Fitri

Londa, Old grave in Toraja


Are you hunting a destination to visit? (roaar.....let's go to hunting place......yaaaakkkk....lol). Maybe you are boring to visit Bali, Jogjakarta or even Jakarta, because you have been visited them every holiday. Let's go to another part in Indonesia. It is South Sulawesi. Where is South Sulawesi? Well...do you know Bunaken-Manado? Well...it is very far from it...(Waaaaakkkk..........lol....nothing to do with that...hahaha) But one thing, South Sulawesi and Manado are in the same island. (Well...at least there's some connection....jiaaaaaaahhh....hmm).

Toraja is located in South Sulawesi, Indonesia, South East Asia. So many interesting things to see there in Toraja, such as the beautiful scenery, the parties, the culture, the food and the famous one is the graves! Why grave?

There are so many ways for Toraja people to "bury" the death body. Some of them will be bury in the ground (well, it is normal way...i guess), in the cave and on the TREE! (WOW..........!)

Ketekesu Grave yard with many human bones all around your visit
There are three gave yard I visited on my last holiday. There are Londa, Ketekesu and Kambira Baby Grave.

For Londa it self has some sad romance. It said, that once upon a time, there were two young couple in love. But because of their love was not agreed by the parents, both of them went to a cave. They were suicide! The guide told me that, their death body hanged up together in a rope. What a tragic love story!

I could feel the mystical aura when the first time I entered the Londa cave. The aura was different than when I entered Ketekesu graveyard. even though Ketekesu cave is older than Londa, but the Ketekesu graveyard is not scary as Londa. ( I mean it is to me....I don't know about you....maybe you don't feel anything...hahahaha).

Kambira Baby Grave, see the tree inside the gate.
Go to another graveyard, it is called as Kambira Baby Grave.

As what it named, it is a Baby Grave. The grave is "in the tree".

The baby that buried here is the baby under 3 years old or toddler. The Toraja people made some small room in the tree then, positioning babies like when they were in the womb. It seems like the baby back to mother's womb and the mother is the tree! (Wow....amazing!)

so, I think there are so many things to visit in Toraja. But you must waiting for another posting. I will tell you more about Toraja.

So, don't miss any posting here. Keep log on to jantifitri-allstories.blogspot.com.

Purple Wedding


By: Janti Fitri

Angin dingin bulan Juli menggetarkan relung hati seorang Renata. Setelah sekian tahun Renata meninggalkan tempatnya lahir, ini kali pertamanya dia kembali. Membawa dendamnya yang sudah padam.

 Cukup lama Renata berdiam di ujung jalan, menepekuri jajaran pinus yang menantinya pulang. Jalanan berdebu dan tertutup daun itu seolah menyambutnya dengan pelukan hangat. Riak-riak ingatan tentang masa kecilnya berlarian di antara jajaran pinus-pinus. Sebaris senyum menghias lelah wajah Renata. Bayangan tentang Nana yang bermata bulat dan selalu manis. Nana punya banyak cerita untuk Renata dan semua ceritanya selalu membuat Renata tertawa. Bima yang sok heroik. Bima selalu berpikir bahwa semua masalah akan selesai jika ada dirinya. Dito yang selalu cengeng. Dito sangat sering menangis, luka sedikit saja sudah membuatnya menangis. Dan Ken yang terlalu pendiam. Ken jarang sekali mengeluarkan pendapatnya, dia selalu menurut apa yang dikatakan teman-temannya. Semuanya itu membuat Renata ingin kembali. Apakah mereka kini masih mengingat Renata? Apakah mereka masih di sana? Ataukah waktu sudah merubah mereka? Tiba-tiba Renata membalikkan punggungnya. Ada sebuah kekuatan yang menahannya untuk kembali pulang. Renata menjauh dari jalanan lengang itu. Angin dingin meniup punggungnya, terasa perih mengiris hati. Bening luruh di pipi Renata yang berkeringat. Renata melangkahkan kakinya perlahan menjauhi jalan yang penuh dengan kenangan itu, tetapi suatu hentakan kekuatan yang tak pernah tahu darimana asalnya menahan langkah kaki itu.

Kini, Renata berada dalam tarik ulur keinginan. Inginnya kembali pulang, tapi ada perih yang akan dijumpainya jika Renata pulang. Tetapi Renata harus pulang, si cantik Encha yang bermata sipit dan berkulit putih dengan rambutnya yang ikal itu memanggilnya pulang. Dia akan menikah minggu depan, dan Renata harus kembali pulang. Tak seorangpun dapat menolak rengekan Encha yang manis itu. Encha memang memiliki kekuatan untuk membuat seseorang memenuhi permintaannya. Dengan lesu, akhirnya Renata membalikkan punggungnya dan kembali menelusuri jalanan yang berpagar pinus. Tak terasa lelehan bening dari matanya mengalir perlahan, ‘Aku harus tegar!’ bisik hati Renata. Pertahanan Renata tertebas ketika mendengar lonceng gereja berdentang tiga kali – sebagai pertanda bahwa saat ini sudah pukul tiga sore – Renata menoleh ke bangunan putih di atas bukit. Di gereja itu, Renata pernah ditinggalkan oleh pengantinnya. Dia tak kan pernah datang untuk Renata, ada janji hati lain yang menghambatnya untuk datang. Sebuah bentukan janji baru yang memisahkan cinta yang telah terbina selama bertahun-tahun. Memang cinta itu bukan karena keinginan Andre, cinta itu yang menginginkan adalah Renata. Karena Renata lah yang mencintai Andre. Tapi tidak seharusnya Andre membuatnya menunggu di gereja dan tak pernah datang.

Mungkin kini Andre sudah menikahi gadis yang baru dikenalnya itu. Mungkin pula ia sudah memiliki anak. Atau apalah itu, Renata hanya tak ingin kembali ke sini dan mengingat semua. Tetapi untuk tak kembali pun berat juga, karena Encha telah berkali-kali mengingatkannya untuk pulang, “Ren, ingat! Aku akan menikah, dan kamu harus datang! Tidak boleh ada alasan apapun! Kerja?! Jangan bodohi aku! Masa kau tak ingin melihat aku menikah?”

Renata menghapus cepat air matanya dan berlalu dengan cepat, menjauhi gereja putih itu. Tetapi koper yang dibawanya seperti tidak mau bekerja sama dengannya. Renata menjadi kesal dengan dirinya sendiri. Dengan kesal di banting kopernya dan ditendangnya sekali. Akhirnya, Renata menjatuhkan diri ke tanah dan air mata yang ia tahan selama beberapa waktu itu tak lagi tertahankan. Luruh seperti hujan yang berderai. Jauh di belakangnya, terdengar suara khas Encha, “Renata sayangku!” Renata tersentak dan buru-buru menghapus air matanya. Lalu tangannya pura-pura mengemasi barang-barangnya yang berserakan. Encha memeluk Renata yang dari belakang dan berkata, “Ah…akhirnya kau datang juga!”
Tolak Renata ringan, “Iya. Iya, tapi lepaskan tanganmu. Aku sedang membereskan bawaanku.”
“Eh..kenapa dengan suaramu? Kok parau begitu? Kau sakit?” tanya Encha sambil ikut membenahi bawaan Renata. Jawab Renata, “Tidak….maksudku, aku sedikit alergi dengan udara dingin.” Gumam Encha, “Tapi dulu kau tidak begitu.”
“Iya aku tahu, tapi akhir-akhir ini aku sering merasa seperti itu.” Elak Renata. Renata berhasil membohongi Encha. Encha percaya saja dengan alasan yang dibuat Renata.

Matahari belum memancarkan sinarnya yang merah ketika Encha mengagetkan Renata dari tidurnya. Entah bagaimana Encha masuk ke kamarnya, mungkin Tin – pembantu neneknya yang baru – atau mungkin Nenek sendiri yang mengijinkannya masuk. Renata masih duduk di tempat tidur dengan selimut masih menutupi dadanya ketika dengan riuhnya Encha menceritakan konsep pernikahannya, “Aku tahu saat ini kau sedang menyukai warna ungu. Aku sendiri tidak tahu mengapa kau begitu suka dengan warna itu. Karena itu, pernikahanku ini aku konsep berdasarkan dirimu.” Beber Encha.
“Maksudnya apa, Cha? Aku tak tahu.” tanya Renata sambil menguap.
“Maksudku, pernikahanku ini konsepnya warna ungu. Baju pengantinku pun warnanya juga ungu, lalu dekorasinya juga ungu. Bahkan aku memilih bunga yang warnanya ungu.” Jelas Encha, “Maksudmu bunga anggrek?” tanya Renata tak bersemangat. Encha mengangguk dengan semangat dan tersenyum lebar.
Lanjut Renata, “Mengapa memilih bunga orang mati seperti itu sih?” Encha cemberut dan berkata, “Siapa bilang bunga anggrek bunga orang mati?”
Balas Renata kepada Encha, “Tidak ada. Tetapi bunga anggrek cenderung sebagai bunga orang mati, ya ‘kan?”
“Tidak mau tahu! Yang penting ini bajumu. Warnanya juga ungu. Cepat mandi dan di pas dulu. Aku ingin melihatnya. Kau pasti cantik dengan baju ini.”
Dengan malas-malasan Renata bangun dari tidurnya dan segera mandi. Tak berapa lama dia sudah mengenakan gaun berwarna ungu itu. Kembali hatinya teriris menatapi dirinya terbalut gaun itu. Masih teringat dirinya berdiri dengan wajah yang bahagia, di depan kaca dan mengenakan baju pengantin berwarna putih di tempat yang sama dengannya berdiri kini. Dulu ibu memeluknya dengan bahagia seraya mengatakan, “Kau cantik sekali Ren. Andre pasti sudah tidak sabar menantimu di gereja.” Dan juga kembali teringat di hari yang sama, ibu memeluknya di kaca ini sambil menangis, dan berkata, “Seandainya Andre datang, dia pasti akan tahu betapa cantiknya kamu.”

Luruh lagi bening di mata Renata. Wajahnya yang lelah menjadi semakin pucat dengan tetesan itu. Renata menutup wajahnya dan menangis tersedu-sedu. Encha mengetuk-ngetuk pintu kamar Renata, “Ren, cepat! Aku ingin melihat kamu.” Segera Renata menghapus air matanya dan keluar. Encha membuka mulutnya lebar-lebar, “Wow! Kamu cantik sekali!” Renata hanya tersenyum. Nenek menatap wajah Renata dengan sendu. Renata menundukkan wajahnya menghindari tatap wajah sedih nenek. Renata berusaha tersenyum untuk menyenangkan hati Encha. Benar saja, Encha merasa berhasil membuat Renata bahagia. Setelah melihat penampilan Renata dengan gaun berwarna ungu itu, Encha meninggalkan rumah Renata dengan langkah hampir melompat.

Setelah sarapan pagi, Renata berjalan-jalan menelusuri desa. Di sebuah sekolah Renata berhenti, sepertinya dia kenal dengan lelaki itu. Lelaki berkaca mata itu menatap Renata malu-malu. Apalagi saat Renata tersenyum padanya. Wajahnya menjadi semakin memerah saja. Apalagi murid-murid di depannya mulai ribut bersorak-sorai memperolok-olok dia, “Ciee…Pak Guru jatuh cinta nih!!”
“Ken!” Panggil Renata setengah berbisik. Ken sedikit bingung, apalagi melihat murid-murid di depannya semakin ribut mendengar panggilan itu. Ada yang bersuit-suit, ada pula yang pura-pura batuk. Tetapi akhirnya Ken mendekati Renata dengan ragu.
Tanya Ken pada Renata, “Anda memanggil saya?”
Sorak Renata, “Ini aku Renata!” Ken terkesiap kaget. Katanya kemudian, “Ini kau Ren? Kamu cantik sekali!”
“Ah…jangan berkata begitu. Kau sekarang jadi Pak Guru ya?”
“Yah…begitulah. Lalu kau?”
“Apa ya?” Renata tertawa, “yah…biasalah, aku jadi orang kota yang selalu disibukkan dengan mencari uang.”
“Apakah pelarianmu sudah kau akhiri?” Tanya Ken. Renata menggeleng dengan pelan. “Mungkin aku akan terus berlari. Entahlah Ken."
Ken gugup menanggapi wajah Renata yang mulai sendu “Oh…maaf. Jadi kau pulang dalam rangka liburan ya?” Jawab Renata, “Oh tidak. Encha akan menikah makanya aku datang.” Ucapan Renata disambut dengungan Ken, “Oh…menurutku…tak seharusnya kau datang.” Kaget Renata, “Maksudnya?”
“Karena…..” Ken terkesiap lalu berbalik dan berkata, “Maaf aku harus kembali mengajar.” Ken meninggalkan Renata yang terbengong-bengong di belakangnya. Renata ingin sekali memanggil Ken, tetapi tertahan di mulutnya. Renata hanya dapat menatapi punggung Ken yang berlalu menjauhinya.

Renata melanjutkan perjalanannya menuju ke rumah Dito. Kata paman Bin, Dito sudah menikah dan memiliki seorang anak perempuan yang cantik. Makanya Renata sengaja ke sana dan membawakan oleh-oleh untuk si cantik itu. Renata disambut manis oleh istri Dito, dan si cantik bersembunyi malu-malu di belakang ibunya. Tetapi tak lama kemudian Mia – sebutan si cantik itu – menjadi akrab dengan Renata setelah Renata memberikan coklat untuk Mia. Tapi sayang Dito tidak di rumah. Dia sedang pergi bekerja dan akan pulang jam 4 sore nanti. Tetapi dari pembicaraannya dengan istri Dito, Renata mendapat kabar bahwa Nana sudah menikah dan dia sekarang tidak ada lagi di desa. Ah…lengkap sudah kesedihan Renata. Tak ada Nana berarti tidak ada cerita. Siapa lagi yang belum dikunjunginya. Bima. Ada kabar buruk tentang Bima. Bima baru saja bercerai dengan isterinya. Tersiar kabar isterinya memiliki kekasih gelap. Dan berakhirlah pernikahan mereka yang baru dimulai dua tahun terakhir ini.

Sisi hati Renata mensyukuri gagalnya pernikahannya dulu. Lebih baik memang begini daripada ingkar setelah sumpah setia terucap. Dan menurut kabar, Bima juga meninggalkan kampung halaman. Ternyata sama dengan hati Renata, Bima berlari dari kenyataan pahit yang dialami.

Hari ini, Renata sudah berdandan cantik di kamarnya, dibantu oleh Tin yang begitu cekatan mendandaninya. Sesekali terdengar pujian dari bibir Tin yang terus berbicara itu. Tak berapa lama kemudian terdengar suara klakson mobil Paman Bin yang mengisyaratkan mereka segera selesai berdandan. Tante Juwi berlari keluar sambil memakai sepatu haknya, sementara nenek memegangi Abimanyu yang merengek ingin ikut ke gereja. Renata berlari keluar diikuti Tin di belakangnya, “Hati-hati,” pesan Kakek kepada Renata, “Iya, pergi dulu ya, Kek.” Sahut Renata cepat.

Bertiga mereka menuju gereja. Hati Renata mulai tak tenang dan gelisah. Detakkannya terasa lebih keras daripada biasanya. Tante Juwi yang duduk di depan bersama Paman Bin menoleh ke arah Renata yang menatap keluar jendela dengan sedih. Kata Tante Juwi dengan lembut, “Ren, kau tidak apa-apa kan?” Renata menatap ke arah Tante Juwi. Renata hanya menggeleng pelan. Tante Juwi menarik nafas dalam dan mendesah saja menatapi kesenduan Renata. Renata tersenyum lalu berkata, “Tante, benar kok, aku tidak apa-apa.”

Kedatangan Paman Bin, Tante Juwi dan Renata di gereja agak terlambat. Pemberkatan pernikahan sudah hampir selesai. Dengan sangat perlahan Renata berjalan memasuki gereja di belakang paman dan bibinya. Sepertinya Renata mengenali lelaki yang berdiri membelakanginya itu. Hati Renata semakin berdetak dengan kencang saja.

Belum selesai Renata menelusuri jajaran kursi di gereja itu, ketika pendeta meminta kedua mempelai berbalik menghadap para jemaat. Waktu seolah berhenti seketika itu. Renata merasa tak lagi mampu bernafas menatapi sang pengantin laki-laki. Encha menatap Renata dengan sangat bahagia, tetapi pengantin pria itu terlihat sangat kaget menatap Renata. Tanpa sadar Renata merasakan hangat pipinya yang segera dihapusnya pelan, segera dia duduk di tempat duduk yang kosong di sisi tempatnya berdiri. Andre mengawasi Renata dari tempatnya berdiri. Renata berusaha menghindari tatapan itu. Ternyata Anant yang dimaksud oleh Encha itu adalah Andre. Renata kemudian teringat dengan undangan berwarna ungu itu, tertulis di sana Andreas W.A. siapa yang tahu kalau itu adalah kepanjangan dari Andreas Wijaya Ananta. Bagaimana Renata bisa lupa dengan nama Andre? Apa yang terjadi sebenarnya? Renata bingung memikirkan permainan cinta ini, tapi Renata berusaha bertahan di gereja itu dengan dada yang sesak dan sakit menahan tangis.

Encha memeluk Renata dengan erat ketika Renata memberinya selamat. Renata berusaha tersenyum menanggapi pelukan itu. Tangan Renata yang dingin menyentuh tangan Andre dan terucap kata yang menggantung, “Selamat ya….” Tanpa doa Renata meninggalkan Andre yang tidak mampu menjawab ucapan Renata itu.

Renata melangkah ke arah jalan pedesaan itu, dia lupa kalau dia tadi berangkat ke gereja dengan paman dan tantenya. Renata menelusuri jalanan sepi itu dengan uraian airmata. Renata tak mengerti mengapa Encha sengaja mengundangnya ke pernikahan yang begitu menyakitkan ini. Dan mengapa pula harus warna ungu yang dijadikan pilihan? Apakah Encha sengaja menyakitinya? Renata juga tak habis pikir mengapa pilihan Encha jatuh pada Andre yang pernah meninggalkannya di altar?

Renata berdiri di tempat favoritnya, berharap dia masih sekecil dulu. Saat hari-hari begitu ceria bersama langit biru dan tawa yang tak pernah henti. Disentuhnya rumput hijau yang tebal dengan tangannya, ternyata masih sesegar dulu. Tetapi mengapa ceritanya tak sesegar waktu itu? Akhirnya Renata duduk di rumput tebal dan membiarkan angannya terbang ke masa lalu. Lamunan Renata dikejutkan panggilan pelan di belakangnya, “Renata,”

Renata menemukan Ken berdiri di belakangnya. Air mata Renata yang sudah mengering luruh lagi. Renata berlari dan menghambur pada Ken. Ken memeluk Renata yang menangis. Selama ini, Renata tak pernah bercerita apapun kepada Ken tentang kisah hidupnya. Tetapi tidak ada lagi yang tersisa lagi tempat curahan hati di tempat ini. Siapa lagi? Renata benar-benar sendiri. Renata tak tahu apa yang akan dikatakan pada Ken, tetapi setidaknya dengan air mata ini Ken tahu betapa sakitnya hati Renata saat ini.

Untuk waktu yang lama Ken membiarkan Renata menangis di bahunya. Di tempat itu hanya suara angin dan tangis Renata yang terdengar, tidak ada yang lain. Setelah sekian lama Renata menangis di dada Ken, kata Ken kepada Renata kemudian, “Sudah ku katakan padamu kemarin, bahwa seharusnya kau tak datang ke pernikahan itu. Karena Encha lah wanita lain yang membuat Andre meninggalkanmu. Tapi aku tidak bisa katakan itu padamu.”
“Kenapa Ken? Kenapa tak kau katakan padaku?” Renata menarik diri dari pelukan Ken. Jawab Ken sambil menatap ke dalam mata Renata,”Karena itu tak kan adil bagiku.”
“Maksudmu?”
“Karena aku……aku….aku menginginkanmu dari dulu. Jika ku katakan aku tak mau kau hanya mengira bahwa aku mengambil kesempatan dalam kesempitan. Aku ingin kau melihatnya sendiri dan kau akan melihat cintaku padamu. Tetapi aku tak mengira bahwa akan seperih ini. Maafkan aku Renata.”  Kata Ken panjang lebar.

Renata tidak tahu harus mengatakan apa kepada Ken. Dia hanya terdiam membisu dengan airmata yang masih menetes di pipinya. Ken menghapus perlahan air mata di pipi Renata. Kata Ken lagi, “Aku tahu pasti besok kau akan kembali pergi mengalahkan dendammu. Jika suatu saat nanti kau sudah berhasil mengalahkannya ingatlah aku.”

Renata kembali terisak dan akhirnya dia menghambur lagi ke dalam pelukan Ken. Senjapun luruh di antara mereka. Sinarnya yang keperakan memberikan senyumannya sebelum memanggil burung-burung pulang. Pepohonan berayun pelan mengibaskan guguran daunnya yang kering. Dan senja itu mendamaikan hati Renata yang berada di pelukan Ken.

Gara-gara Miiko


By: Janti Fitri

Pilihlah jariku....................

Ibu jari berarti cinta
Jari telunjuk berarti suka
Jari tengah berarti biasa saja
Jari manis berarti tidak begitu suka
Jari kelingking berarti benci

BEGITUKAH CARAMU MENGUJI CINTAKU?????

Nana, bergegas cepat memasuki perpustakaan, ada janji dengan Reta hari ini. Perpustakaan sangat sepi hari ini. Nana hanya menemui Ibu Desi penjaga perpustakaan yang selalu menyapanya dengan ramah. 
"Selamat siang, Ibu Desi." sapa Nana begitu Nana masuk ke dalam perpustakaan. Ibu Desi yang sedang membaca sebuah buku tebal itu menurunkan kaca mata tebalnya dan memandang ke arah Nana. Jawabnya, "selamat siang, Nana. Sendirian? mana Reta?"
"Oh...Reta belum datang?" Nana menghentakkan kakinya pelan. Ibu Desi menggeleng sambil tersenyum. Nana membalasnya senyuman itu dan berkata, "ah...mungkin Reta akan segera datang. Saya akan tunggu di dalam."
"Oke." kata Ibu Desi. Nana melangkah meninggalkan meja Ibu Desi, tetapi Ibu Desi kembali berseru kepada Nana, "Oh...ada kiriman buku baru, mungkin kau ingin membacanya?"
Nana berhenti, nampak sedikit berpikir kemudian menjawab Ibu Desi, "ah....mungkin nanti saja Ibu Desi, hari ini saya ingin membaca komik saja. Otak saya terasa panas sekali sehabis ujian semester. Membutuhkan sedikit refreshing, saya kira."
"Baiklah, tapi kalau kau ingin membacanya sebagai pembaca nomor satu, aku di sini untukmu." kata Ibu Desi sembari tersenyum dan menaikkan kembali kaca matanya. Nana tertawa saja kemudian melangkah di antara rak-rak buku.

Nana menuju ke sudut ruangan dengan lemari buku yang lebih pendek. Di sudut ruangan itu terdapat meja pendek dan karpet berwarna hijau yang menghampar di bawah jendela. Sudut ini banyak di sukai anak-anak, karena di sinilah surga komik dan bacaan ringan lainnya. Selain itu, dari sudut jendela ini, hampir seluruh sekolah terlihat. Jadi Nana dapat melihat kedatangan Reta.

Nana mengambil sebuah komik Jepang dengan judul Hai Miiko edisi 18. Kemudian, Nana melangkah menuju ke karpet hijau dan mulai berlutut bersiap untuk duduk. Nana menarik rok abu-abunya kemudian mulai duduk di karpet. Tak berapa lama kemudian Nana sudah mulai tersenyum-senyum membaca kekonyolan cerita itu. Tetapi tiba-tiba dada Nana bergetar membaca halaman tengah dari komik itu, tepat pada judul "Ramalannya Tepat" bagian pertama. Nana bergegas menutup komik itu dan bangkit dengan cepat. Segera tangan Nana menyimpan buku itu kembali ke dalam rak dan melesat keluar. Ibu Desi terkejut melihat Nana yang mengambil tasnya di loker, tanya Ibu Desi kepada Nana, 
"Kau tidak menunggu Reta?"
"Saya akan kembali nanti, ada yang harus saya selesaikan Ibu Desi. Dan ini penting....." Kata Nana sambil setengah berlari menuju ke pintu keluar, "sampai jumpa Ibu Desi."
"Oke, sampai jumpa. Akan ku katakan pada Reta kalau kau segera kembali." kata Ibu Desi setengah berteriak.
"Terima kasih Ibu Desi." Seru Nana dari halaman Perpustakaan.

Nana berlari melintasi lapangan upacara dan menembus taman. Nana berlari menuju ke ruang kelas XI A. Sesampainya di sana Nana bertemu dengan seorang gadis berkepang dua, tanya Nana kepada Lia gadis berkepang dua itu, "Hai Lia, eng...eh....ada Sam?"
"Tidak ada, tapi sepertinya dia ada di studio, mereka sedang latihan untuk perpisahan kakak kelas XII nanti." kata Lia kepada Nana.
"Ok makasih." kata Nana sambil tersenyum kepada Lia dan bergegas meninggalkan Lia.
"Hey..." panggil Lia. Nana menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Lia, "Bukankah kalian sudah tidak bersama lagi?" kata Lia kepada Nana. Nana hanya tersenyum sambil kemudian berlari meninggalkan Lia. Itu tidak penting, batin Nana. 

Akhirnya Nana berhasil mencapai studio musik dengan nafas yang hampir putus. Nana mengatur nafasnya di halaman studio itu. Tetapi sepertinya tidak terlalu berjalan dengan baik, karena debur dihatinya yang merupakan pertanda bahwa Nana sedang grogi lebih besar lagi denyutnya, sehingga membuatnya semakin susah bernafas. Tetapi tekad Nana lebih besar daripada debaran itu.

Segera, Nana membuka pintu studio, suara musik keras menyambut kedatangannya. Dan serombongan anak lelaki menatapnya dengan heran. Ada Eki dengan gebukan drummnya, Tomas dengan gitas bassnya, Andra dengan keyboardnya, Yakob dengan mike-nya dan Sam dengan melodinya. Kelima anak lelaki itu menatap Nana aneh, terlebih Sam yang kemudian mengalihkan tatapannya dan bersikap seolah tidak ada orang lain hanya mereka berlima.

Nana melangkah ke arah Sam dan berkata, "Sam, aku ingin bicara."
"Aku sedang latihan." kata Sam tanpa menatap Nana.
"Ku mohon." kata Nana lagi. Jreeeennnnnnnnggggggg..........genjreng Sam dengan marah. Akhirnya kelima temanny menghentikkan permainan mereka. Sam meletakkan gitarnya dengan setengah membanting, kemudian melangkah keluar. Nana mengikuti langkah kaki Sam. Sam berhenti tepat di bawah pohon mangga, dan segera berbalik memandang Nana yang mengekor di belakangnya, "Apa sekarang?'
"Tidak harus sekasar itu, 'kan?" pinta Nana kepada Sam.
"Dengar, itu tidak penting. Katakan apa yang ingin kau katakan. Cepat, aku harus segera kembali ke dalam untuk latihan." kata Sam dengan ketus.
"Hari ini aku pergi ke perpustakaan dan membaca komik Hai Miiko. Ada sebuah bagian yang mengingatkanku pada suatu hari sebelum kita putus kau, kau pernah memintaku untuk memilih jarimu, dan setelah aku memilih jarimu, kau memutuskan aku. Apakah ini semua gara-gara kau membaca komik Miiko?" tanya Nana dengan menatap dalam ke mata Sam.
"Iya." kata Sam pelan.
"Dan waktu itu aku memilih jari manis......." lanjut Nana.
"Itu berarti tidak begitu suka...." potong Sam.
"Begitukah caramu menguji rasa cintaku?" kata Nana dengan sedih. Tanpa terasa air matanya mulai menetes, "Tak pernahkah kau pikir mengapa aku memilih jari manismu? Aku memilih jari manismu karena aku ingin bahwa kisah kita akan dibawa sampai nanti, bukan hanya sekedar cinta SMA yang akan terlupakan begitu saja. Kau tahu kan kalau jari manis itu tempatnya cincin pertunangan dan pernikahan melingkar? Atau kau tak pernah melihat orang memakai cincin pertunangan dan pernikahan di jari manis? Dimanakah orang menaruh cincin pertunangan dan pernikahan? Di ibu jari kah?"
Setelah mengatakan hal tersebut, Nana melangkah meninggalkan Sam dengan sedih. Nana tidak menunggu penjelasan apapun dari Sam, karena semuanya sudah usai.

Dengan lesu Nana kembali ke perpustakaan. 

Sesampainya kembali Nana di perpustakaan, Reta langsung menyerang Nana dengan pertanyaan, "Dari mana saja kau? katanya Ibu Desi kau tadi sudah berada di sini, tetapi kau pergi, katanya ada yang penting? Apa yang terjadi? Kenapa kau tak cerita padaku? Hey...dimana aku di hatimu? Aku masih sahabatmu 'kan?"
"Reta..Reta...Reta...kau masih sahabatku, dan kau masih di hatiku.....tetapi masalahnya ini semua terjadi begitu saja dan tidak terduga....kemari aku tunjukkan padamu hal yang membuatku pergi begitu saja." kata Nana kepada Reta sambil menarik tangan Reta masuk ke sudut perpustakaan. 
"Apa maksudnya?" tanya Reta dengan bingung. Nana mengambil sebuah komik Miiko dan berkata, "Ini penyebab putusnya aku dengan Sam."
"Maksudmu?"
"Baca saja dan pahami." kata Nana sambil duduk di bawah jendela. Reta membaca baik-bak serial Miiko ini. Keheningan terjadi di antara mereka. Reta masih sibuk membaca komik Miiko sambil tertawa-tawa, tetapi belum paham juga apa maksudnya....

Nana menggaruk-garuk rambutnya sampai seperti habis disasak, kemudian kata Nana kepada Reta "Bagaimana kau tidak mengerti juga sich Nona???"
"Oke aku paham dengan cerita ini, tetapi apa hubungannya denganmu?" tanya Reta.
"Sam memutuskan aku karena ini, karena dia memintaku untuk memilih jarinya. Dan saat aku memilihnya, aku memilih jari manisnya, dan Sam menganggap bahwa itu semua benar. Sam berpikir aku tidak menyukainya." jawab Nana
"Hah??!! Sam mempercayai ramalan ini? Bodoh! Tetapi memang lebih baik begitu." Reta membelalakan matanya tapi kemudian menyurut lagi.
"Maksudmu?" Nana menatap Reta dengan keheranan.
"Sam, terlalu bodoh untukmu. Untuk apa dia mempercayai ramalan seperti ini?" kata Reta dengan bibir monyong.
"Sepertinya komik ini menjadi panutannya." kata Nana lemah.
"Bagaimana kau bisa mengatakan seperti itu?" tanya Reta lagi.
"Dia memilihku menjadi pacarnya karena aku kecil. Ini seperti Miiko dan Tapei. Aku baru menyadarinya hari ini, setelah sekian lama kami berpisah." kata Nana dengan sedih.
"Tapi menurutku dia memang bodoh."kata Reta lagi dengan pelan sebelum Sam datang menghampiri mereka. Nana dan Reta menatap Sam dengan bengong. Sementara Sam berdiri dengan canggung di hadapan Nana dan Reta, sementara wajah Sam memerah. Lalu kata Sam kepada Nana, "Na, bisa bicara sebentar?"
Nana bangkit dari duduknya dan mengikuti langkah Sam. Sam mengajak Nana keluar perpustakaan. Kini mereka duduk di kursi taman. Nana dan Sam terdiam untuk beberapa lama, hingga akhirnya Sam dengan gugup berkata kepada Nana, "Eng...be-benarkah yang kau ucapkan tadi?"
"yang mana?' tanya Nana.
"Bahwa kau memilih jari manisku karena kau ingin aku menyelipkan cincin pertunangan dan pernikahan di jari manis ini?" tanya Sam.
"Kau memang bodoh Sam," kata Nana menjiplak kata-kata Reta.
"Sepertinya memang begitu." Kata Sam. Kembali keduanya terdiam, sementara Sam menundukkan kepala dan tangannya memain-mainkan bunga rumput. Nana hanya terdiam, bingung juga apa yang akan dikatakannya.

Setelah sekian lama Nana dan Sam berdiam diri dalam semilir dinginnya angin taman, Sam memecahkan keheningan dengan berkata, "Maukah kamu...eng....memakai ini....."
"Apa?" tanya Nana heran.
"Cincin dari rumput, habis semuanya mendadak, jadi tak ada waktuku untuk membeli cincin, biar kata cuman cincin perak...." kata Sam sambil tersenyum nakal.
"Hah?!" PAK..PAK..PAK...!!!!!akhirnya Sam mendapat pukulan bertubi-tubi dari Nana.
"Apa salahku?" tanya Sam dengan wajah memelas. Nana tertawa terbahak-bahak melihat wajah Sam yang seperti itu. Nana bangkit berdiri dari bangku taman dan melangkah pergi meninggalkan Sam. Sam turut bangkit dan mengejar Nana. Selanjutnya, Sam menarik kepala Nana dan mengacak-acak rambut Nana, seperti kebiasaannya sebelum Sam meminta Nana memilih jarinya.