Jumat, 18 November 2011

Purple Wedding


By: Janti Fitri

Angin dingin bulan Juli menggetarkan relung hati seorang Renata. Setelah sekian tahun Renata meninggalkan tempatnya lahir, ini kali pertamanya dia kembali. Membawa dendamnya yang sudah padam.

 Cukup lama Renata berdiam di ujung jalan, menepekuri jajaran pinus yang menantinya pulang. Jalanan berdebu dan tertutup daun itu seolah menyambutnya dengan pelukan hangat. Riak-riak ingatan tentang masa kecilnya berlarian di antara jajaran pinus-pinus. Sebaris senyum menghias lelah wajah Renata. Bayangan tentang Nana yang bermata bulat dan selalu manis. Nana punya banyak cerita untuk Renata dan semua ceritanya selalu membuat Renata tertawa. Bima yang sok heroik. Bima selalu berpikir bahwa semua masalah akan selesai jika ada dirinya. Dito yang selalu cengeng. Dito sangat sering menangis, luka sedikit saja sudah membuatnya menangis. Dan Ken yang terlalu pendiam. Ken jarang sekali mengeluarkan pendapatnya, dia selalu menurut apa yang dikatakan teman-temannya. Semuanya itu membuat Renata ingin kembali. Apakah mereka kini masih mengingat Renata? Apakah mereka masih di sana? Ataukah waktu sudah merubah mereka? Tiba-tiba Renata membalikkan punggungnya. Ada sebuah kekuatan yang menahannya untuk kembali pulang. Renata menjauh dari jalanan lengang itu. Angin dingin meniup punggungnya, terasa perih mengiris hati. Bening luruh di pipi Renata yang berkeringat. Renata melangkahkan kakinya perlahan menjauhi jalan yang penuh dengan kenangan itu, tetapi suatu hentakan kekuatan yang tak pernah tahu darimana asalnya menahan langkah kaki itu.

Kini, Renata berada dalam tarik ulur keinginan. Inginnya kembali pulang, tapi ada perih yang akan dijumpainya jika Renata pulang. Tetapi Renata harus pulang, si cantik Encha yang bermata sipit dan berkulit putih dengan rambutnya yang ikal itu memanggilnya pulang. Dia akan menikah minggu depan, dan Renata harus kembali pulang. Tak seorangpun dapat menolak rengekan Encha yang manis itu. Encha memang memiliki kekuatan untuk membuat seseorang memenuhi permintaannya. Dengan lesu, akhirnya Renata membalikkan punggungnya dan kembali menelusuri jalanan yang berpagar pinus. Tak terasa lelehan bening dari matanya mengalir perlahan, ‘Aku harus tegar!’ bisik hati Renata. Pertahanan Renata tertebas ketika mendengar lonceng gereja berdentang tiga kali – sebagai pertanda bahwa saat ini sudah pukul tiga sore – Renata menoleh ke bangunan putih di atas bukit. Di gereja itu, Renata pernah ditinggalkan oleh pengantinnya. Dia tak kan pernah datang untuk Renata, ada janji hati lain yang menghambatnya untuk datang. Sebuah bentukan janji baru yang memisahkan cinta yang telah terbina selama bertahun-tahun. Memang cinta itu bukan karena keinginan Andre, cinta itu yang menginginkan adalah Renata. Karena Renata lah yang mencintai Andre. Tapi tidak seharusnya Andre membuatnya menunggu di gereja dan tak pernah datang.

Mungkin kini Andre sudah menikahi gadis yang baru dikenalnya itu. Mungkin pula ia sudah memiliki anak. Atau apalah itu, Renata hanya tak ingin kembali ke sini dan mengingat semua. Tetapi untuk tak kembali pun berat juga, karena Encha telah berkali-kali mengingatkannya untuk pulang, “Ren, ingat! Aku akan menikah, dan kamu harus datang! Tidak boleh ada alasan apapun! Kerja?! Jangan bodohi aku! Masa kau tak ingin melihat aku menikah?”

Renata menghapus cepat air matanya dan berlalu dengan cepat, menjauhi gereja putih itu. Tetapi koper yang dibawanya seperti tidak mau bekerja sama dengannya. Renata menjadi kesal dengan dirinya sendiri. Dengan kesal di banting kopernya dan ditendangnya sekali. Akhirnya, Renata menjatuhkan diri ke tanah dan air mata yang ia tahan selama beberapa waktu itu tak lagi tertahankan. Luruh seperti hujan yang berderai. Jauh di belakangnya, terdengar suara khas Encha, “Renata sayangku!” Renata tersentak dan buru-buru menghapus air matanya. Lalu tangannya pura-pura mengemasi barang-barangnya yang berserakan. Encha memeluk Renata yang dari belakang dan berkata, “Ah…akhirnya kau datang juga!”
Tolak Renata ringan, “Iya. Iya, tapi lepaskan tanganmu. Aku sedang membereskan bawaanku.”
“Eh..kenapa dengan suaramu? Kok parau begitu? Kau sakit?” tanya Encha sambil ikut membenahi bawaan Renata. Jawab Renata, “Tidak….maksudku, aku sedikit alergi dengan udara dingin.” Gumam Encha, “Tapi dulu kau tidak begitu.”
“Iya aku tahu, tapi akhir-akhir ini aku sering merasa seperti itu.” Elak Renata. Renata berhasil membohongi Encha. Encha percaya saja dengan alasan yang dibuat Renata.

Matahari belum memancarkan sinarnya yang merah ketika Encha mengagetkan Renata dari tidurnya. Entah bagaimana Encha masuk ke kamarnya, mungkin Tin – pembantu neneknya yang baru – atau mungkin Nenek sendiri yang mengijinkannya masuk. Renata masih duduk di tempat tidur dengan selimut masih menutupi dadanya ketika dengan riuhnya Encha menceritakan konsep pernikahannya, “Aku tahu saat ini kau sedang menyukai warna ungu. Aku sendiri tidak tahu mengapa kau begitu suka dengan warna itu. Karena itu, pernikahanku ini aku konsep berdasarkan dirimu.” Beber Encha.
“Maksudnya apa, Cha? Aku tak tahu.” tanya Renata sambil menguap.
“Maksudku, pernikahanku ini konsepnya warna ungu. Baju pengantinku pun warnanya juga ungu, lalu dekorasinya juga ungu. Bahkan aku memilih bunga yang warnanya ungu.” Jelas Encha, “Maksudmu bunga anggrek?” tanya Renata tak bersemangat. Encha mengangguk dengan semangat dan tersenyum lebar.
Lanjut Renata, “Mengapa memilih bunga orang mati seperti itu sih?” Encha cemberut dan berkata, “Siapa bilang bunga anggrek bunga orang mati?”
Balas Renata kepada Encha, “Tidak ada. Tetapi bunga anggrek cenderung sebagai bunga orang mati, ya ‘kan?”
“Tidak mau tahu! Yang penting ini bajumu. Warnanya juga ungu. Cepat mandi dan di pas dulu. Aku ingin melihatnya. Kau pasti cantik dengan baju ini.”
Dengan malas-malasan Renata bangun dari tidurnya dan segera mandi. Tak berapa lama dia sudah mengenakan gaun berwarna ungu itu. Kembali hatinya teriris menatapi dirinya terbalut gaun itu. Masih teringat dirinya berdiri dengan wajah yang bahagia, di depan kaca dan mengenakan baju pengantin berwarna putih di tempat yang sama dengannya berdiri kini. Dulu ibu memeluknya dengan bahagia seraya mengatakan, “Kau cantik sekali Ren. Andre pasti sudah tidak sabar menantimu di gereja.” Dan juga kembali teringat di hari yang sama, ibu memeluknya di kaca ini sambil menangis, dan berkata, “Seandainya Andre datang, dia pasti akan tahu betapa cantiknya kamu.”

Luruh lagi bening di mata Renata. Wajahnya yang lelah menjadi semakin pucat dengan tetesan itu. Renata menutup wajahnya dan menangis tersedu-sedu. Encha mengetuk-ngetuk pintu kamar Renata, “Ren, cepat! Aku ingin melihat kamu.” Segera Renata menghapus air matanya dan keluar. Encha membuka mulutnya lebar-lebar, “Wow! Kamu cantik sekali!” Renata hanya tersenyum. Nenek menatap wajah Renata dengan sendu. Renata menundukkan wajahnya menghindari tatap wajah sedih nenek. Renata berusaha tersenyum untuk menyenangkan hati Encha. Benar saja, Encha merasa berhasil membuat Renata bahagia. Setelah melihat penampilan Renata dengan gaun berwarna ungu itu, Encha meninggalkan rumah Renata dengan langkah hampir melompat.

Setelah sarapan pagi, Renata berjalan-jalan menelusuri desa. Di sebuah sekolah Renata berhenti, sepertinya dia kenal dengan lelaki itu. Lelaki berkaca mata itu menatap Renata malu-malu. Apalagi saat Renata tersenyum padanya. Wajahnya menjadi semakin memerah saja. Apalagi murid-murid di depannya mulai ribut bersorak-sorai memperolok-olok dia, “Ciee…Pak Guru jatuh cinta nih!!”
“Ken!” Panggil Renata setengah berbisik. Ken sedikit bingung, apalagi melihat murid-murid di depannya semakin ribut mendengar panggilan itu. Ada yang bersuit-suit, ada pula yang pura-pura batuk. Tetapi akhirnya Ken mendekati Renata dengan ragu.
Tanya Ken pada Renata, “Anda memanggil saya?”
Sorak Renata, “Ini aku Renata!” Ken terkesiap kaget. Katanya kemudian, “Ini kau Ren? Kamu cantik sekali!”
“Ah…jangan berkata begitu. Kau sekarang jadi Pak Guru ya?”
“Yah…begitulah. Lalu kau?”
“Apa ya?” Renata tertawa, “yah…biasalah, aku jadi orang kota yang selalu disibukkan dengan mencari uang.”
“Apakah pelarianmu sudah kau akhiri?” Tanya Ken. Renata menggeleng dengan pelan. “Mungkin aku akan terus berlari. Entahlah Ken."
Ken gugup menanggapi wajah Renata yang mulai sendu “Oh…maaf. Jadi kau pulang dalam rangka liburan ya?” Jawab Renata, “Oh tidak. Encha akan menikah makanya aku datang.” Ucapan Renata disambut dengungan Ken, “Oh…menurutku…tak seharusnya kau datang.” Kaget Renata, “Maksudnya?”
“Karena…..” Ken terkesiap lalu berbalik dan berkata, “Maaf aku harus kembali mengajar.” Ken meninggalkan Renata yang terbengong-bengong di belakangnya. Renata ingin sekali memanggil Ken, tetapi tertahan di mulutnya. Renata hanya dapat menatapi punggung Ken yang berlalu menjauhinya.

Renata melanjutkan perjalanannya menuju ke rumah Dito. Kata paman Bin, Dito sudah menikah dan memiliki seorang anak perempuan yang cantik. Makanya Renata sengaja ke sana dan membawakan oleh-oleh untuk si cantik itu. Renata disambut manis oleh istri Dito, dan si cantik bersembunyi malu-malu di belakang ibunya. Tetapi tak lama kemudian Mia – sebutan si cantik itu – menjadi akrab dengan Renata setelah Renata memberikan coklat untuk Mia. Tapi sayang Dito tidak di rumah. Dia sedang pergi bekerja dan akan pulang jam 4 sore nanti. Tetapi dari pembicaraannya dengan istri Dito, Renata mendapat kabar bahwa Nana sudah menikah dan dia sekarang tidak ada lagi di desa. Ah…lengkap sudah kesedihan Renata. Tak ada Nana berarti tidak ada cerita. Siapa lagi yang belum dikunjunginya. Bima. Ada kabar buruk tentang Bima. Bima baru saja bercerai dengan isterinya. Tersiar kabar isterinya memiliki kekasih gelap. Dan berakhirlah pernikahan mereka yang baru dimulai dua tahun terakhir ini.

Sisi hati Renata mensyukuri gagalnya pernikahannya dulu. Lebih baik memang begini daripada ingkar setelah sumpah setia terucap. Dan menurut kabar, Bima juga meninggalkan kampung halaman. Ternyata sama dengan hati Renata, Bima berlari dari kenyataan pahit yang dialami.

Hari ini, Renata sudah berdandan cantik di kamarnya, dibantu oleh Tin yang begitu cekatan mendandaninya. Sesekali terdengar pujian dari bibir Tin yang terus berbicara itu. Tak berapa lama kemudian terdengar suara klakson mobil Paman Bin yang mengisyaratkan mereka segera selesai berdandan. Tante Juwi berlari keluar sambil memakai sepatu haknya, sementara nenek memegangi Abimanyu yang merengek ingin ikut ke gereja. Renata berlari keluar diikuti Tin di belakangnya, “Hati-hati,” pesan Kakek kepada Renata, “Iya, pergi dulu ya, Kek.” Sahut Renata cepat.

Bertiga mereka menuju gereja. Hati Renata mulai tak tenang dan gelisah. Detakkannya terasa lebih keras daripada biasanya. Tante Juwi yang duduk di depan bersama Paman Bin menoleh ke arah Renata yang menatap keluar jendela dengan sedih. Kata Tante Juwi dengan lembut, “Ren, kau tidak apa-apa kan?” Renata menatap ke arah Tante Juwi. Renata hanya menggeleng pelan. Tante Juwi menarik nafas dalam dan mendesah saja menatapi kesenduan Renata. Renata tersenyum lalu berkata, “Tante, benar kok, aku tidak apa-apa.”

Kedatangan Paman Bin, Tante Juwi dan Renata di gereja agak terlambat. Pemberkatan pernikahan sudah hampir selesai. Dengan sangat perlahan Renata berjalan memasuki gereja di belakang paman dan bibinya. Sepertinya Renata mengenali lelaki yang berdiri membelakanginya itu. Hati Renata semakin berdetak dengan kencang saja.

Belum selesai Renata menelusuri jajaran kursi di gereja itu, ketika pendeta meminta kedua mempelai berbalik menghadap para jemaat. Waktu seolah berhenti seketika itu. Renata merasa tak lagi mampu bernafas menatapi sang pengantin laki-laki. Encha menatap Renata dengan sangat bahagia, tetapi pengantin pria itu terlihat sangat kaget menatap Renata. Tanpa sadar Renata merasakan hangat pipinya yang segera dihapusnya pelan, segera dia duduk di tempat duduk yang kosong di sisi tempatnya berdiri. Andre mengawasi Renata dari tempatnya berdiri. Renata berusaha menghindari tatapan itu. Ternyata Anant yang dimaksud oleh Encha itu adalah Andre. Renata kemudian teringat dengan undangan berwarna ungu itu, tertulis di sana Andreas W.A. siapa yang tahu kalau itu adalah kepanjangan dari Andreas Wijaya Ananta. Bagaimana Renata bisa lupa dengan nama Andre? Apa yang terjadi sebenarnya? Renata bingung memikirkan permainan cinta ini, tapi Renata berusaha bertahan di gereja itu dengan dada yang sesak dan sakit menahan tangis.

Encha memeluk Renata dengan erat ketika Renata memberinya selamat. Renata berusaha tersenyum menanggapi pelukan itu. Tangan Renata yang dingin menyentuh tangan Andre dan terucap kata yang menggantung, “Selamat ya….” Tanpa doa Renata meninggalkan Andre yang tidak mampu menjawab ucapan Renata itu.

Renata melangkah ke arah jalan pedesaan itu, dia lupa kalau dia tadi berangkat ke gereja dengan paman dan tantenya. Renata menelusuri jalanan sepi itu dengan uraian airmata. Renata tak mengerti mengapa Encha sengaja mengundangnya ke pernikahan yang begitu menyakitkan ini. Dan mengapa pula harus warna ungu yang dijadikan pilihan? Apakah Encha sengaja menyakitinya? Renata juga tak habis pikir mengapa pilihan Encha jatuh pada Andre yang pernah meninggalkannya di altar?

Renata berdiri di tempat favoritnya, berharap dia masih sekecil dulu. Saat hari-hari begitu ceria bersama langit biru dan tawa yang tak pernah henti. Disentuhnya rumput hijau yang tebal dengan tangannya, ternyata masih sesegar dulu. Tetapi mengapa ceritanya tak sesegar waktu itu? Akhirnya Renata duduk di rumput tebal dan membiarkan angannya terbang ke masa lalu. Lamunan Renata dikejutkan panggilan pelan di belakangnya, “Renata,”

Renata menemukan Ken berdiri di belakangnya. Air mata Renata yang sudah mengering luruh lagi. Renata berlari dan menghambur pada Ken. Ken memeluk Renata yang menangis. Selama ini, Renata tak pernah bercerita apapun kepada Ken tentang kisah hidupnya. Tetapi tidak ada lagi yang tersisa lagi tempat curahan hati di tempat ini. Siapa lagi? Renata benar-benar sendiri. Renata tak tahu apa yang akan dikatakan pada Ken, tetapi setidaknya dengan air mata ini Ken tahu betapa sakitnya hati Renata saat ini.

Untuk waktu yang lama Ken membiarkan Renata menangis di bahunya. Di tempat itu hanya suara angin dan tangis Renata yang terdengar, tidak ada yang lain. Setelah sekian lama Renata menangis di dada Ken, kata Ken kepada Renata kemudian, “Sudah ku katakan padamu kemarin, bahwa seharusnya kau tak datang ke pernikahan itu. Karena Encha lah wanita lain yang membuat Andre meninggalkanmu. Tapi aku tidak bisa katakan itu padamu.”
“Kenapa Ken? Kenapa tak kau katakan padaku?” Renata menarik diri dari pelukan Ken. Jawab Ken sambil menatap ke dalam mata Renata,”Karena itu tak kan adil bagiku.”
“Maksudmu?”
“Karena aku……aku….aku menginginkanmu dari dulu. Jika ku katakan aku tak mau kau hanya mengira bahwa aku mengambil kesempatan dalam kesempitan. Aku ingin kau melihatnya sendiri dan kau akan melihat cintaku padamu. Tetapi aku tak mengira bahwa akan seperih ini. Maafkan aku Renata.”  Kata Ken panjang lebar.

Renata tidak tahu harus mengatakan apa kepada Ken. Dia hanya terdiam membisu dengan airmata yang masih menetes di pipinya. Ken menghapus perlahan air mata di pipi Renata. Kata Ken lagi, “Aku tahu pasti besok kau akan kembali pergi mengalahkan dendammu. Jika suatu saat nanti kau sudah berhasil mengalahkannya ingatlah aku.”

Renata kembali terisak dan akhirnya dia menghambur lagi ke dalam pelukan Ken. Senjapun luruh di antara mereka. Sinarnya yang keperakan memberikan senyumannya sebelum memanggil burung-burung pulang. Pepohonan berayun pelan mengibaskan guguran daunnya yang kering. Dan senja itu mendamaikan hati Renata yang berada di pelukan Ken.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar