Selasa, 20 Oktober 2015

Helm dan Polisi

Blog Post ini dibuat dalam rangka mengikuti kompetisi menulis cerpen
"Tertib, Aman dan Selamat bersepeda motor di jalan"
#safetyFirst
diselenggarakan oleh:
Yayasan Astra - Honda Motor dan nulisbuku.com

“ Hendraaaa….Helm!” kata Om Boy saat Hendra mulai menyalakan motornya.
“Cuman ke warung sate depan situ, Om. Gak ada polisi di situ,” kata Hendra.
“Helm itu buat apa sih? Buat nakutin polisi atau untuk keselamatan kepalamu? Ini pakai dulu,” kata Om Boy sambil menyerahkan helm pada Hendra. Hendra menerima helm tersebut dan memakainya dengan malas-malasan.
“Harus ada bunyi ‘klik’,” kata Om Boy lagi.
“Iya, Om,” jawab Hendra semakin tidak bersemangat. Setelah itu….wuzzzz…meluncurlah motor Hendra masuk ke jalan raya.
Tak berapa lama kemudian, sampailah Hendra di warung yang dituju. Ia turun dari motornya dan disambut oleh beberapa temannya yang kebetulan ada di situ,
“Tumben pakai helm, Ndra?” tanya Dwi setengah meledek.
“Ahhh… ini tadi kebetulan Om Boy ke rumah, trus Om Boy memaksa aku pakai helm,” keluh Hendra sambil menuju ke penjual sate. “Pak, sate lima dibungkus ya,”
“Iya, Mas Hendra,” kata penjual sate yang sibuk dengan aktifitasnya melayani pelanggan-pelanggan lainnya. Hendra kemudian duduk-duduk sebentar dengan teman-temannya. Terlihat ia tertawa dan bersenda gurau dengan mereka hingga pesanannya tiba. Hendra mengulurkan sejumlah uang dan melesat cepat dengan motornya tanpa mengenakan helmnya.
Setibanya di rumah, Om Boy yang kebetulan duduk-duduk di beranda dengan Bapak geleng-geleng kepala melihat kedatangan Hendra.
“Hendra… Hendra… seberapa sulitnya kah pakai helm itu?” keluh Om Boy.
“He he… lupa tadi, Om,” kata Hendra sambil meletakkan sate kambing di meja beranda. Mendengar kedatangan Hendra, Ibu dan adik Hendra – Lala keluar membawa piring dan sendok.
“Makannya di sini aja ya Om,” saran Lala.
“Iya, dimana mana saja tidak apa-apa. Di sini juga malah nikmat, sambil lihat bunga-bunganya Ibumu,” kata Om Hendra sambil sibuk membuka kantong plastik.
“Ndra, Om punya cerita,” kata Ibu kepada Hendra.
“Apa itu, Om,” tanya Hendra sambil membuka plastik sate dan menuangkannya ke atas piringnya.
“Dulu, Om punya pacar cantiiikkk sekali. Dia bernama Jasmine,”
“Ciyeeee……” ledek Lala sambil melirik usil Om Boy.
“Hehe…” tawa Om Boy, “nah…Om pede banget waktu pacaran sama Jasmine. Siapa sih yang tidak suka punya pacar cantik, pinter, baik hati dan siswa berprestasi….”
“Dimana dia sekarang, Om? Kenapa Om tidak segera menikahi dia?” potong Hendra, “kan maaf yaaa…Om sudah umur gitu. Kasihan kan beliaunya,” kata Hendra panjang lebar.
“Pssttt….dengerin dulu cerita, Om Boy,” kata Ibu.
“Kulanjut nih. Nah… Om dulu sering jengkel sama Jasmine karena dia orangnya patuh dengan aturan. Sedikit sedikit tidak boleh sedikit sedikit tidak boleh. Bahkan dulu Jasmine suka ingetin Om untuk selalu pakai helm…..”
“Beuuhhh…ternyata dulu Om orangnya bandel juga yaaa hahaaa….” tawa Hendra, “na kenapa tadi waktu saya keluar, saya musti pakai helm,”
“Aiiss… dengerin dulu,” kata Bapak kali ini.
“Suatu hari,” lanjut Om Boy, “di rumah Kakekmu, waktu itu Jasmine main ke rumah kami. Trus Nenekmu bilang, ‘Boy, belikan Jasmine bakso di depan’ tentu saja Om pergi dong. Tapi karena aku pergi, makanya Jasmine ikut. Dan seperti yang sudah Om cerita di depan, Om menolak untuk memakai helm. Jasmine bilang, ‘pakai helmnya, Boy’ tapi waktu itu Om menolak dan malah berkata begini pada Jasmine yang sudah pakai helm, ‘masa’ cuman di depan situ kamu pakai helm? La aku yang di depan aja gak pakai helm, masa kamu pakai’ dengan berat hati akhirnya Jasmine melepas helmnya. Dia kuatir sepanjang perjalanan karena tidak memakai helm. Dan Om terus meledek kekuatirannya hingga tiba-tiba di depan kami ada motor yang tiba-tiba berhenti. Om kaget dan mengerem mendadak. Tanpa Om sadari, ternyata Jasmine terjengkang ke belakang dan dia… dan diaa….” Om Boy menghentikan ceritanya, menarik nafas dalam dalam.
“Dan dia kenapa, Om?” tanya Lala.
“Jasmine meninggal, Nak,” lanjut Ibu karena Om Boy tidak dapat lagi melanjutkan ceritanya, “Jasmine gegar otak. Karena waktu terpental, Jasmine jatuh dengan posisi terlentang dan langsung terkena otak kecilnya. Jasmine meninggal di tempat tanpa mengeluarkan darah sedikitpun. Waktu itu Ibu masih SMP kelas III kalau sekarang kelas XII dan waktu itu Om Boy kelas III SLTA. Waktu itu mereka baru selesai ujian akhir sekolah,” kata Ibu lagi.
Hendra menjadi menyesal telah meledek Om Boy. Apalagi setelah ia tahu bahwa Om Boy telah kehilangan orang yang paling dicintainya.
“Maafin Hendra ya, Om,” kata Hendra. Om Boy tersenyum dan berkata,
“kenapa minta maaf?”
“Soalnya tadi sudah meledek Om Boy,” kata Hendra lagi.
“Ya ya ya… tidak apa-apa. Om memang nakal waktu seumuranmu. Tapi setelah kejadian menyedihkan yang menimpa Om. Om jadi sadar bahwa keselamatan lebih penting daripada harga diri,” jelas Om.
“Iya, Om,” kata Hendra lagi. Tiba-tiba di tengah aktifitas makannya, handphone Hendra berdering. Hendra melirik handphone-nya dan mencoleknya dengan ujung jari kelingkingnya.
“Siapa, Ndra?” tanya Bapak.
“Ellen, Pak,” jawab Hendra kemudian mengangkat teleponnya, “halo, kenapa?” kata Hendra, “lagi makan, ya ya ya…oke…ya…” kata Hendra kemudian menutup teleponnya.
“Kenapa?” tanya Ibu.
“Ellen, Bu. Minta dijemput di tempat les, karena Papanya masih rapat di kantornya, trus Mamanya lagi sibuk arisan. Kakaknya belum pulang dari kuliah,” jelas Hendra.
“Habiskan dulu makanmu, baru pegi,” kata Ibu.
“Iya Bu, Ellen juga bilang begitu kok,” kata Hendra cepat-cepat menghabiskan makanannya.
Hendra tidak sempat menyimpan piring di dapurnya, ia segera beranjak berdiri dan mengambil dua helm. Satu dipakainya sendiri dan satu di gantung di motor. Setelah itu Hendra meluncur ke jalan dengan motor kesayangannya.
“Ehh… kok cepat?” tanya Ellen, “tadi katanya lagi makan,”
“Hehehe… beda kali model makannya laki sama perempuan. Kalau laki-laki mah semenit, kalo cewek bisa satu jam,” tawa Hendra.
“Heeehh…. Saya tidak yaaa….” kata Ellen sambil mengambil helm dari tangan Hendra, “tumben kamu tertib lalu lintas, Hen. Saya suka deh lihatnya,” kata Ellen.
“Hendra gitu loh,” kata Hendra sambil memutar motornya. Kemudian Hendra melarikan motornya dengan perlahan-lahan menikmati matahari senja yang kekuningan di ufuk barat, tiba-tiba dari arah depan ada sebuah motor yang melaju tak terkendali. Hendra berusaha untuk menguasai motornya dan berseru, “Elleeenn…. Pegangannnn!!!”
BRAAAKKKKKK…….
Tabrakan itu pun tak terkendali. Hendra dan Ellen terpental di pinggir jalan persawahan, sementara pengendara lainnya menabrak pembatas jalan. Hendra memegangi kepalanya dan berseru, “kepalaku?!” setelah mampu menguasai dirinya, Hendra bangkit dari jatuhnya dan mencari Ellen, “Jasmine… Jasmine…. Jasmine….” mulut Hendra komat-kamit menyebutkan nama itu.
“Siapa Jasmine?!” seru sebuah suara marah. Hendra menatapi Ellen yang terduduk di tepi jalan sambil mengelus-elus sikunya yang berdarah. Hendra langsung memeluk Ellen sambil menangis.
“Untung kamu pakai helm, Len. Aku sudah takut bahwa aku akan kehilangan kamu seperti saat Om Boy kehilangan Jasmine,” kata Hendra sambil terus menangis haru. Ellen yang tidak tahu menahu mengenai Jasmine itu berkata, “ya ya ya… tapi lepaskan pelukanmu. Badanku sakit semua,”
“Oh oh ya….maaf,” kata Hendra.
Entah darimana datangnya mereka, tetapi saat Hendra menoleh ke arah pengendara sepeda motor itu, Hendra sudah melihat banyak orang datang berkerumun. Di antara mereka juga ada polisi dan tenaga medis yang sibuk berlari mendekati Hendra dan Ellen. Dari kejauhan Hendra melihat Ibu berlari-lari sambil menangis diikuti Bapak, Lala dan Om Boy.
“Kakaaaakkk…..!!!” seru Lala dari kejauhan.
“Ndra…. Ellen… kalian baik-baik saja?” tangis Ibu yang kemudian mendekati Ellen setelah memastikan bahwa Hendra baik-baik saja.
“Om Boy!” Hendra berdiri dan dengan terpincang-pincang ia mendekati Om Boy dan memeluknya, “maafin Hendra tidak mendengarkan Om Boy!” haru Hendra.
“Siapa bilang kamu tidak mendengarkan? Nyatanya hari ini kamu memakai helm dan tidak menunggu sampai hal yang dikhawatirkan terjadi padamu,” kata Om Boy sambil menepuk-nepuk bahu Hendra, “sudah jangan menangis. Tidak malukah kamu sama Ellen?”
Ellen yang sedang dirawat tim medis tersenyum memandang ke arah mereka. Ibu yang semula berada di dekat Ellen, kini datang dan memeluk Hendra dan berkata, “untung kamu mendengarkan Om Boy untuk memakai helm. Tahukah kamu pengendara motor yang menabrak kamu itu meninggal di tempat, dia tidak memakai helm dan yang lebih mengerikan lagi, dia masih anak SMP dan belum terlalu pintar naik motor. Makanya Ibu berkali-kali bilang padamu, bahwa keamanan berkendara itu penting, nak. Pake helm itu bukan karena kita takut polisi, tetapi karena untuk keselamatan kita sendiri,” kata Ibu sambil mengelus-elus kepala Hendra.
“Sudah…. sudah…. yang penting semuanya baik-baik saja. Lecet lecet mah biasa, anak laki,” kata Bapak sambil menepuk-nepuk Bapak.
“Aduuhh… sakiiiit, Pak. Terkilir kakiku,” rengek Hendra.
“Heehh… Bapak menepuk bahu kok bisa terasa sampai di kaki. Dasar anak manja.”
“Itu, Kak. Makanya lain kali hati-hati kalau berkendaraan di jalan, ikutin aturan yang sudah ditetapkan, perhatikan juga kepentingan orang lain, biar kita semua bisa selamat,” kata Lala.
“Iihh… kamu, La. Kok kaya iklan di tivi, yaaakkk….”
“Heeehhh….Kakaaaakkkkkkkk!!!” geram Lala.