Sabtu, 26 November 2011

Angel Fair - Indonesian Translation

By: Janti Fitri


Pernah nggak tahu rasanya jadi wanita kedua? Jangan deh, jangan pernah menjadi wanita kedua. Tapi itu terjadi pada Kirana, perempuan usia 29 tahun dan berprofesi sebagai jurnalis.

Perkenalan singkatnya dengan Awang terjadi pada saat Kirana meliput banjir di Semarang. Ah…ceritanya cukup heroik. Saat itu Kirana tengah mengambil gambar, mendadak air mengalir dengan derasnya dan hampir menyapu Kirana, tepat saat itu Awang berada di situ dan menyelamatkannya. Entah bagaimana kisahnya, akhirnya mereka bertukar nomor telpon dan sejak itu mereka telpon-telponan.
Ah…cinta memang kadang unik, jarak membuat Kirana dan Awang menjadi lebih dekat. Dan cinta itu memang luar biasa, mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang dicintainya. Seperti petang itu, Kirana sedang sedih banget, soalnya, dia habis dimarahin bosnya. Kirana benar-benar membutuhkan Awang pada saat seperti ini, tetapi ketika Kirana mengirim pesan singkatnya, jawaban di ujung sana garing banget, “Lagi ada rapat.”
“Kok sadis banget ngomongnya, biasanya kan nggak begitu?” batin Kirana. Hati Kirana mulai berdebar, apakah mungkin ada yang lain di sisi Awang, apakah yang menjawab tadi bukan Awang? Tapi itu mungkin saja bisa terjadi, lanjut hati Kirana, Awang tidak pernah mau dihubungi pada malam hari ataupun hari libur. Awang selalu berpesan biarlah Awang yang menelpon dulu, bukan Kirana. Ah…bukankah mendengarkan kata hati itu perlu, cinta itu berasal dari hati baru kemudian pikiran, kalau saat ini kedua unsur itu setuju, berarti tidak ada salahnya kalau membiarkan kecurigaan itu berlanjut. Maka, Kirana melanjutkan mengirim pesan singkatnya, “Ah…paling nggak rapat, paling lagi mandiin anak tuh..” Dan jawaban di ujung sana adalah, “Iya” hanya itu? Sesingkat itu? Itu bukan Awang. Hari yang sangat buruk bagi Kirana, dia mengharapkan seseorang akan mendampinginya dalam masalah ini, tetapi orang yang diharapkan pun tidak memberikan itu, malahan menjadikannya semakin buruk.
Siang ini, Kirana nekat pergi ke Semarang dia harus bertemu dengan Awang, Awang harus menjelaskan ini. Walaupun hati Kirana sudah cukup siap dengan apapun hasil terburuk, tetapi air mata Kirana masih saja tetap mengalir di pipinya setiap mengenang Awang. Tetapi semuanya itu harus diputuskan hari ini juga, semuanya harus selesai.
Kirana sudah duduk di sebuah kedai makan menanti kedatangan Awang hari ini. Kirana sibuk menata hatinya, dia tidak mau jika bertemu Awang nanti dia menangis. Memang, airmata itu sudah terhenti, tetapi lebam matanya tidak mudah hilang secepat itu.
Setelah berjam-jam Kirana menanti Awang, akhirnya Awang datang juga. Wajahnya memang agak berbeda kali ini, lebih pucat dan berkeringat. Langkahnya tergesa menghampiri Kirana yang sudah menantinya. Hati Awang semakin berdebar begitu melihat mata lebam Kirana, “Hai, sudah lama nunggunya?” Kirana hanya menggeleng sambil tersenyum. Awang duduk di depan Kirana, sambil membuka menu makan siang di kedai itu.
Untuk beberapa waktu yang lama mereka saling terdiam, Kirana menunduk sambil menikmati makan siangnya. Katanya setelah lama terdiam, “Katakan padaku, kau sudah menikah ya?”
Awang terkesiap mendengar perkataan Kirana, “Aku…” Awang tidak melanjutkan perkataannya. Desahan panjang dan berat terhempas dari hidung Awang. Awang kemudian menyentuh tangan Kirana dan berkata, “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membohongimu. Tetapi sejak bertemu kamu pertama kali rasanya aku jatuh cinta lagi. Seperti cinta pertama. Aku tidak bisa membohongi perasaanku. Aku mencintaimu, tapi pertemuan kita memang tidak tepat. Aku menyesali pertemuan kita ini, mengapa kita tak berjumpa pada waktu dulu. Sehingga aku bisa hidup bersamamu selamanya.”
“Apakah kau tak mencintai isterimu?” Kirana memotong permohonan maaf dari Awang karena sudah tak sanggup lagi mendengarkan kata-kata Awang.
“Aku mencintainya. Tapi bersamamu ada yang lain. Seperti cinta pertama.” Awang menatap ke dalam mata Kirana.
“Apakah isterimu tidak sadar kalau kau berselingkuh?” Tanya Kirana dengan nada bergetar.
“Dia tahu. Dan sudah seminggu ini kami bertengkar. Tapi semalam kami sudah baikan.” Awang tersenyum mencoba mencairkan suasana. Tetapi, airmata Kirana malah meleleh di pipinya. Kata Kirana, “Sudah. Kita akhiri saja semua ini. Aku tak mau merusak keluarga yang sudah kau bina selama ini. Dia wanita yang hebat. Walaupun dia sudah mengetahui bahwa suaminya berselingkuh dia tidak melabrak aku. Atau menteror aku. Dia membuatku kagum. Dan aku juga hanya menginginkan suami yang hanya milikku sendiri. Bukan milik orang lain. Aku juga tidak mau mengambilmu dari anak dan isterimu. Aku akan sangat jahat sekali jika aku melakukannya. Kita akhiri saja semua ini dan jangan telpon aku.”
“Jangan. Aku tidak mau berpisah denganmu. Aku sayang kamu. Sungguh. Tapi aku juga sayang isteri dan anakku.” Awang memohon.
“Lalu kau pikir aku ini apa?” pertanyaan Kirana membuat Awang terdiam. Bening di mata Kirana membuat hati Awang tergetar. Awang merasa sangat bersalah sekali baik dengan wanita yang duduk di hadapannya maupun wanita yang telah ia nikahi selama ini. Awang berucap lagi setelah menghembuskan nafas, “Kita tetap temenan ya? Karena tidak semudah itu menghapuskan cintaku padamu. Aku berjanji, setelah kau dapatkan kekasihmu sendiri, aku akan pergi.”
Kirana tidak menjawab. Air matanya luruh jatuh. Selama ini dia paling membenci lelaki yang berselingkuh. Malahan dia sendiri menjadi wanita kedua dalam kehidupan orang lain. Dan lelaki itu adalah lelaki yang sangat ia cintai pula. Apa yang harus dilakukan Kirana? Awang tidak mau diputuskan. Sementara di sisi hatinya yang lain, Kirana takut menghancurkan keluarga orang lain.
Dan Kirana pun kembali pulang tanpa tahu harus bagaimana mengakhirinya………………………….

    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar