Jumat, 18 November 2011

My Cupid My Cinderella

The house of Cupid
By: Janti Fitri

 Ini bukan saatnya untuk bersantai-santai, semua pekerjaan harus selesai hari ini, tidak peduli hujan yang mengguyur kota. Membuat lubang-lubang jalanan yang rusak tergenang air dan membuat pejalan kaki harus sering melotot bahkan melontarkan kata-kata kotor kepada pengendara motor atau mobil yang terus saja menyisakan cipratan air kotor di baju-baju orang yang kebetulan berjalan melintas di sisi jalan. 

Hannah, bergegas menuju ke sebuah toko bunga seperti yang dipesankan Aidan – anak dari pemilik perusahaan dimana Hannah bekerja – Aidan meminta Hannah untuk membelikannya sebuket bunga mawar putih untuk kencannya malam ini. Aidan baru saja dikenalkan Ayahnya dengan seorang putri pengusaha emas yang ternama. Gadis itu cantik – Aidan pernah bertemu dengan gadis itu di peresmian cabang baru perusahaan ayahnya – makanya Aidan sangat bersemangat hari ini. Dan Aidan memang tidak biasa mendengar kata “sebentar” dari bibir Hannah.

Beberapa menit kemudian, Hannah sudah berada di ruangan Aidan dengan sebuket mawar putih di tangannya. Sebagian baju Hannah basah terkena air hujan. Hannah mengibas-ngibaskan bajunya seperti seekor anjing pudel saja. Aidan tertawa, katanya, “Kau seperti anjing pudel yang sedang mengibas-ngibaskan bulu-bulunya dengan genit.” Hannah melotot sambil berkata, “Kurang ajar! Kalau tidak di kantor, aku sudah menghajarmu!”
“Lakukan saja! Aku tidak keberatan!” Aidan tertawa. Hannah menjulurkan lidahnya, melotot, kemudian berlalu. Sebelum membuka pintu Hannah berkata, “Seharusnya kau berterima kasih padaku bukannya menghina aku. Pangeran macam apa kamu, sama Putrinya kau tak melakukan apa-apa. Harusnya, kau mendaki bukit yang berbahaya dan memetik edelweiss-mu sendiri, bukannya duduk di belakang meja dan teriak : Hannaaahh….belikan aku bunga!” Blam! Pintu di belakang Hannah pun tertutup. Aidan, beranjak dari kursinya sambil mengulum senyum, segera dia buka pintu ruangannya dan dari balik pintu yang setengah terbuka itu, Aidan menggoda Hannah, “Terima kasih Hannah.” Hannah tidak menjawab, malahan melotot ke arah Aidan. 

Hannah went home around this nite...xixixii
Hannah pulang lebih awal dari biasanya, bukannya dapat bonus atau apa, tapi dia pulang awal karena harus menyiapkan segala keperluan kencan Aidan malam ini. Hannah harus mendapatkan tempat yang paling romantis di kafe yang sudah ditentukan Aidan. Tempatnya harus sangat romantis dan tidak boleh ditempati oleh siapapun. Hannah juga harus menyiapkan acara untuk membuat Maryam membelalakan mata hingga membuat Maryam mengatakan, malam ini sangat indah. Juga tidak lupa, Hannah harus memesan masakan istimewa yang tidak dibuat untuk pelanggan lainnya. Bukan hanya itu saja, setelah dari kafe itu, Hannah harus ke butik untuk mencarikan baju yang pas untuk Aidan. Kemudian mencari tempat kedua setelah kafe. Di tempat itu, Hannah memesankan kepada seseorang untuk mempersiapkan kembang api seperti pesta kembang api di Perancis, dan juga sebuah band jalanan yang melantunkan lagu-lagu cinta.

Ah…capek sekali hari ini. Hannah, melemparkan tubuhnya di atas kasur tepat pukul 8 malam. Hannah tak sempat untuk makan malam karena terlalu sibuk mengurus Aidan hingga dia lupa untuk mengurus dirinya sendiri. Pikir Hannah, saat ini mungkin saja Aidan sudah kencan dengan Maryam, anak pengusaha emas itu. Hanya itu yang terlintas di otak Hannah, lalu sesaat kemudian Hannah sudah terlelap.

Pukul 12 malam, Hannah dikejutkan oleh ketukan keras di pintu rumahnya. Hannah melompat dengan terkejut, duduk sejenak di tempat tidur dan kemudian keluar dari kamarnya menuju pintu depan sambil membawa tongkat baseball. Hannah mengintip dari kaca jendelanya, takut kalau-kalau itu pencuri atau perampok. Setelah tahu bahwa yang berada di depan pintu itu Aidan, Hannah berteriak dari dalam, “Bisakah kau tahan ceritamu, dan ceritakan padaku besok pagi di kantor!?” Sahut Aidan dari luar, “Tolonglah, aku sangat ingin bertemu kamu malam ini! Ada sesuatu yang harus aku katakan!”
“Tidak! Besok pagi saja! Pulanglah, dan bahagialah sendiri dulu. Aku mau tidur! Besok pagi aku harus ke kantor! Aku tidak mau ayahmu marah-marah padaku karena aku terlambat!” teriak Hannah dari dalam rumah.
“Aku sudah pulang, dan aku tidak bisa tidur! Makanya aku berada di sini.” Seru Aidan lagi. Akhirnya, dengan cemberut Hannah membukakan pintu untuk Aidan. Hannah berpikir wajah Aidan yang konyol itu akan tertawa penuh kemenangan karena  berhasil membujuk Hannah untuk membukakan pintu, tetapi perkiraan Hannah meleset, Aidan masuk dengan lesu dan menuju ke ruang makan.

Kata Aidan, “Ada yang bisa aku makan tidak?”
“Tidak ada, aku saja belum makan malam.” Ucap Hannah dari belakang Aidan sambil menaruh kembali stick base ball itu. Kata Aidan kembali seraya duduk, “kalau begitu masaklah sesuatu, aku lapar.”
“Bagaimana bisa kau lapar, kau baru saja berkencan, makan di sebuah kafe, menikmati malam yang luar biasa di tepi danau dengan suasana Perancis, sambil makan jagung bakar dengan diikuti pengamen jalanan yang sudah kau sewa itu?” Kata Hannah di sisi jendela. 
“Sudahlah, kau masak saja, katamu kau juga belum makan malam. Apa kau tidak lapar?” 
Seperti biasa, Hannah tidak bisa menolak permintaan Aidan. Akhirnya, tangan-tangan Hannah mulai mengupas bumbu-bumbu masak dan tenggelamlah Hannah dalam kesibukannya. Sementara itu, berkali-kali Aidan mendesah dan mengeluarkan nafas panjang di belakang Hannah. Selain dari perilaku seperti itu, Aidan tidak lagi banyak bicara. 

Jam satu malam, Hannah dan Aidan makan malam. Kebisuan Aidan itu menimbulkan tanya di hati Hannah. Tanya Hannah kemudian, “Ada apa? Bagaimana kencanmu malam ini?”
“Sebenarnya semuanya berhasil, tapi aku tidak menyukainya.”
“Kenapa? Apa karena dia tidak cantik? Bukankah berkali-kali sudah aku katakan, jangan melihat wanita dari sisi cantiknya, tubuhnya yang indah dan kata-katanya yang merayu. Kau ini bagaimana?” serang Hannah.
“Bukan itu, dia cantik, tapi aku tidak suka  bersama dengan dia. Dia  terlalu pendiam seperti seorang putri, dia penurut. Apapun kataku dia mengikutinya.” Keluh Aidan. Potong Hannah cepat, “Jadi dia tidak terbelalak dengan pesta kembang api dan pemusik jalanan itu?”
“Bukan juga…ah…entahlah, aku hanya merasa tidak nyaman saja bersamanya.”
“Entahlah kau ini Aidan. Aku tidak tahu wanita semacam apa yang ingin kau cari. Selama ini aku sibuk mencarikan pasangan untukmu, tetapi, tak satupun yang benar-benar ingin kau jadikan istri. Lalu sekarang apa maumu?” Ucap Hannah sambil menarik piring-piring kotor itu.
“Aku sendiri tidak tahu apa yang aku mau.” Keluh Aidan sambil mendorong gelas kosongnya ke arah Hannah. Hannah menarik gelasnya dengan kesal lalu berkata, “Terserah kamulah, aku mau tidur. Dan besok pagi aku harap kau punya ide mencari pasanganmu sendiri tanpa aku ataupun ayahmu. Cari yang kau mau! Selamat malam!” Hannah melangkah ke dalam kamarnya dan beranjak tidur. Tetapi Aidan ikut masuk juga ke kamar Hannah, dan ikut berbaring di sisi Hannah. Hannah bangkit dari tidurnya dan memukul dada Aidan dengan bantal, “Apa yang kau lakukan di sini?”
“Tidur.” Jawab Aidan enteng.
“Pergi kau! Tidur di sofa kamar tamu!” 
“Kenapa? Apa salahnya dengan tidur bersamamu? Waktu kita kecil dulu kita kan sering tidur berdua.” Kilah Aidan.
“Bodoh! Itu waktu kita kecil dulu. Bukan sekarang! Aku bilang pergi! Sana!” Hannah mendorong tubuh Aidan dari tempat tidurnya. Aidan melangkah keluar kamar dengan lesu dan tidur di sofa yang sempit.

Hannah dan Aidan memang bersahabat sejak kecil. Bedanya Hannah adalah anak pengurus rumah tangga Aidan. Hannah dibesarkan oleh ayahnya di kampung, sementara ibu Hannah tinggal di Jakarta bersama keluarga Aidan. Sewaktu kecil Aidan sering berlibur di kampung dan bermain dengan Hannah. Pada saat SMA Aidan menginginkan Hannah untuk sekolah di Jakarta, akhirnya orang tua Aidan mengabulkan keinginan dari anak  semata wayangnya itu. Aidan tidak memiliki seorang temanpun. Teman Hannah adalah teman Aidan juga. Aidan tidak terlalu pandai memulai persahabatan karena terlalu tergantung dengan Hannah. Sempat Aidan tidak mau kuliah jika Hannah juga tidak kuliah di tempat yang sama dengannya. Aidan takut dengan lingkungan baru yang akan ditemuinya. Akhirnya Hannah kuliah juga di tempat yang sama dengan Aidan. Aidan sangat marah waktu itu ketika Hannah memutuskan pindah rumah karena dari gajinya Hannah sudah mampu membeli rumah sendiri. Tetapi Hannah tetap pergi karena dia ingin menjalani kehidupannya sendiri. Hannah sering ditinggal pacarnya gara-gara kedekatannya dengan Aidan. Dan Hannah cukup kesal dengan itu. Waktu itu keluarga Aidan tidak banyak membela Aidan, mereka berpikir ide Hannah untuk meninggalkan rumah itu bagus, setidaknya untuk melatih Aidan menjadi seseorang yang mandiri. Tapi ternyata semua tetap sama saja. Aidan tidak mandiri!

Pagi menjelang, Aidan masih tertidur pulas di sofa di ruang TV. Sementara itu, Hannah tengah sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi mereka. Mentari yang nakal membangunkan tidur Aidan dan membawanya melangkah ke dapur untuk menyambar sarapan paginya. Tepat setelah Hannah selesai menyiapkan semuanya di meja makan. Yah..seperti sebuah alarm makan yang sudah ter-set di kepala Aidan. Setelah sarapan Aidan dan Hannah meninggalkan rumah menuju ke kantor.

Tiba di kantor pukul 08.00 tepat. Hannah sudah memulai aktifitasnya di depan computer. Tiba-tiba Aidan mengejutkannya dengan teriakan dari ruangannya, “Hannah…Hannah…dimana kau?!” Aidan berlari keluar dan menuju ke meja Hannah. Teman-teman sekerja Aidan menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Aidan itu. Hannah menghentikan pekerjaannya dan menoleh ke arah Aidan. Aidan menarik kursi di dekat Hannah untuk lebih mendekat lagi. Kata Aidan, “Dengar!” sementara itu Hannah kembali dengan computer di depannya, “aku punya ide!” 
“Ide apa?” Tanya Hannah tanpa memperhatikan Aidan. Aidan tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi dia malahan mengulurkan sebuah buku cerita anak-anak di depan wajah Hannah. Jari-jari Hannah terus saja menekan-nekan tuts di depannya. Hannah membaca, “Cinderella” Tanya Hannah kemudian pada Aidan, “Maksudnya?”
“Begini,” jelas Aidan, “Aku akan membuat sebuah pesta dansa seperti dalam dongeng ini. Semua orang mendapat undangan. Dan aku akan mengadakan pesta dansa itu selama tiga hari. Siapa tahu aku akan mendapatkan calon isteriku di sana. Bagaimana menurutmu?”
“Bagus, tetapi terlalu berlebihan. Yang wajar-wajar saja kenapa?” kata Hannah tanpa mengalihkan matanya dari layar komputer.
“Tetapi menurutmu bagus ‘kan?” Tanya Aidan dengan mata yang berbinar-binar. Hannah mendesah, katanya, “Bukankah sudah ku katakan, bagus, tetapi terlalu berlebihan.” kata Hannah dengan menekankan nada dalam kalimatnya.
“Yang penting kau mengatakan bahwa ideku bagus. Itu saja yang aku perlu.” Seru Aidan sambil menggoda Hannah dengan tampang konyolnya. Hannah kemudian mengalihkan pembicaraan, “Sudah kau tanda tangani surat yang aku berikan padamu tadi?”
“Belum.” Jawab Aidan singkat. Tangan Hannah mendorong tubuh Aidan, dan berkata, “Kalau begitu cepat tanda tangani dan berikan lagi padaku. Aku harus segera mengirimkannya pada Pak Anwar. Aku tidak mau Pak Anwar marah padaku.” Aidan berdiri sambil berkata, “Tetapi kau setuju ‘kan?”
“Ya, terserah kamulah!” kesal Hannah.
“Kalau kau setuju, bilang pada ayahku mengenai hal ini.” Aidan berlalu menuju ke ruangannya. Hannah bangkit dengan cepat dan setengah berlari menuju ke ruangan Aidan, “Hey, dia ayahmu. Katakan sendiri padanya!” 
“Tolonglah,” Wajah Aidan memelas ketika mengucapkan kalimat itu.
“Aidan, kau ini sudah cukup dewasa! Cobalah kau pandang suatu perkara dengan pandanganmu sendiri! Jangan dengan pandanganku! Apakah pernah terpikir olehmu bahwa suatu saat aku akan menikah, kau juga demikian, dan pada saat itu aku tidak akan lagi  bersamamu. Aku akan pergi kemana suamiku pergi. Iya kalau suamiku adalah orang sini, bagaimana kalau suamiku orang Papua, pasti aku juga akan turut ke sana. Apa ya nanti jika kau bertengkar dengan isterimu kau akan terbang ke Papua? Kalau pun iya, apa suamiku tidak akan tinggal diam kalau tingkahmu seperti semalam?” serang Hannah sambil berkacak pinggang di depan Aidan. Tanya Aidan kepada Hannah, “Pacarnya Hannah dari Papua ya? Kok aku tidak tahu.”
“Aku…aku…” gugup Hannah tak tahu harus menjawab kebodohan Aidan itu. Hannah mengepalkan tangannya pertanda dia jengkel sekali dengan Aidan. Ucap Aidan lagi, “Jangan menikah dengan orang Papua, menikah saja dengan orang Jakarta, atau Bandung boleh, yang penting jangan jauh-jauh, ya.”
“Huughh…..” kesal Hannah. 
“Sekarang kau bilang pada ayahku mengenai rencana kita tadi itu.” Ucap Aidan akhirnya. Hannah melotot, “Tidak! Katakan sendiri!”
“Tolonglah,” pinta Aidan.
“Tidak! Dia ayahmu! Katakan sendiri!”
“Ada apa ini?” Ayah Aidan menyela pertengkaran. Kata Aidan, “ada sesuatu yang ingin Hannah katakan pada Ayah.” Hannah menghela nafas panjang menghadapi ketidakdewasaan Aidan itu. Kata Ayah Aidan, “Baiklah, apa yang ingin kau bicarakan padaku?” kata Ayah Aidan sambil duduk di kursi di depan Hannah. Aidan tersenyum menikmati kemenangannya itu. Hannah memulai pembicaraannya, “Begini, Pak. Aidan memiliki suatu rencana untuk mengadakan pesta dansa. Kali ini dia ingin memilih pacarnya sendiri, tanpa saya maupun Bapak.”
“Ide yang bagus, aku ingin lihat bagaimana cara ‘Api Kecil’-ku mencari seorang pendamping hidup.” Ucap Ayah Aidan sambil tersenyum. Aidan lebih lebar lagi senyumnya. Lalu kata Aidan kepada Hannah, “Kalau begitu, Hannah, siapkan pestanya.”
“Aku lagi??!” berontak Hannah. Aidan mengangguk-anggukan kepala dengan penuh senyum. Ayah Aidan bangkit sambil menepuk bahu Hannah, ucapnya, “Bagaimanapun juga, Hannah, dia tetap Api Kecilku.”
Ucap Hannah setelah Ayah Aidan keluar ruangan, “Dengar, jika aku punya anak aku tidak ingin memberinya nama Aidan, jika api itu tidak akan pernah menjadi Api yang besar.” Hannah membalikkan badannya sambil menyambar surat-surat yang sudah ditanda tangani Aidan, berlalu meninggalkan Aidan yang tersenyum penuh kemenangan itu.

Lewat istirahat siang, Hannah belum kembali ke kantor. Aidan mulai gusar di ruangannya. Berkali-kali dia melongok ke meja Hannah, juga berkali-kali dia menanyakan pegawai yang lain kemana Hannah, jawabannya hanya satu, Hannah keluar kantor sebelum istirahat, dia menemui Pak Anwar. Tetapi mengapa selama ini? Aidan sedari tadi mencoba menghubungi nomor HP Hannah, tetapi tidak aktif. Akhirnya, Aidan memutuskan untuk mencari ayahnya.Hasilnya, Hannah tengah menemani Pak Anwar makan siang.

Hannah bergegas masuk ke kantor karena mendapat telpon tadi. Dia mencari Aidan di kantornya, tapi tidak juga ketemu. Ternyata Aidan menunggu Hannah di meja Hannah. Tanya Hannah pada Aidan yang manyun itu, “Kenapa mencariku?”
“Kemana saja kamu seharian ini?” Tanya Aidan serius.
“Aku? Aku mengantarkan surat perpanjangan kontrak yang baru kepada Pak Anwar. Kau tahu itu, kan? Kau yang menandatangani surat itu sendiri. Kau pula yang menyuruh aku pergi. Masa kau tanya kemana aku pergi?” serang Hannah
“Tetapi ‘kan seharusnya kau cepat kembali.” Seru Aidan.
“Sebentar, bukankah etika kerja di perusahaan ini, kalau melakukan tugas luar kita tidak dibatasi waktu, yang penting pekerjaan beres, iya ‘kan? Apa etika itu sudah berubah saat ini?” Kemarahan Hannah terpancing.
“Oke, oke kamu benar, tetapi mengapa kamu harus makan siang dengan Pak Anwar?” Aidan berdiri dari duduknya.
“Apa salahnya aku makan siang dengan Pak Anwar? Memang Pak Anwar baik. Dia selalu mengajak makan bersama dengan klien-kliennya. Dia bahkan tidak pernah enggan makan bareng sopirnya atau pembantunya.”
“Bukan itu maksudku!! Kau bisa menolak ajakan Pak Anwar untuk makan siang bersama ‘kan? Kau bisa bilang, maaf Pak, saya harus kembali ke kantor karena ada urusan yang harus segera saya urus.” Kilah Aidan dengan nada tinggi.
“Baiklah anak keras kepala, apa tugasku berikutnya?!” ucap Hannah memotong perdebatan itu.
“Ng…cepat urus pesta itu!” ucap Aidan melemah.
“Tidak sekarang! Tidak hari ini!” kata Hannah sambil duduk menarik kursinya lebih mendekat ke arah komputernya. Aidan menarik kursi yang lain, duduk lalu menyerang Hannah dengan kata-katanya lagi, “Apa kamu bilang?! Katanya kau ingin aku menjadi dewasa, katanya kau ingin aku memilih sendiri pasanganku tanpa kamu maupun ayahku. Tapi sekarang kau malah tak mau mengurus itu semua! Apa sih maumu?”
“Dengarkan aku anak egois yang keras kepala! Aku harus segera menyerahkan laporan akhir bulan kepada Ayahmu. Aku tak mau Ayahmu marah padaku karena laporan akhir bulan yang terlambat hanya karena mengurus masalah mengenai wanita yang tidak ada akhirnya itu.” Hannah menerangkan dengan panjang lebar.
“Jadi kau tak mau mengurus masalah itu karena Pak Anwar ya. Pak Anwar itu ‘kan dari Kalimantan bukan dari Papua, kok kamu mulai bohong padaku sih? Lagian Pak Anwar ‘kan sudah punya istri, masa kamu mau menjadi istri keduanya?” ucap Aidan tanpa mendengarkan perkataan Hannah sebelumnya. Kesal Hannah pada Aidan, “Kenapa sampai ke situ? Aku tidak memperkarakan masalah Pak Anwar. Aidan bisakah kau hilangkan kedunguan itu dari otakmu?”
“Kamu memang mulai jahat dengan aku akhir-akhir ini. Ini pasti gara-gara Pak Anwar.” Aidan mengucapkan kata-kata itu sambil melangkah pergi. Hah…! Hannah mendesah dengan kesal, “Lelaki satu itu mengapa bisa sebodoh itu! Ayahnya saja seorang ekonom hebat, kok bisa anaknya dungu!”

Hujan deras mengguyur Jakarta sejak tadi malam, air menggenang di sana-sini, kabar banjir mulai memenuhi seluruh head-line surat kabar maupun televisi, tetapi itu semua tidak menghalangi niat Hannah untuk menyiapkan pesta dansa untuk Aidan – si Api Kecil. Ditemani Husni, sopir pribadi Aidan, Hannah mencari ballroom untuk pesta, catering, florist, penata lampu, menyiapkan undangan dan desainnya, serta segala keperluan yang diperlukan untuk pesta itu. 
Hannah sudah keluar masuk ke studio televisi dan radio, pergi ke percetakan untuk membuat pamphlet dan mencetak undangan, mengecek perlengkapan pesta, mendatangi butik langganannya, dan lain sebagainya. Benar-benar hari yang sangat melelahkan. Kini Hannah tengah menikmati makan siangnya bersama Husia di sebuah rumah makan. Sedari tadi Hannah tidak berbicara karena begitu lelahnya. Otaknya lelah karena harus memikirkan  semua urusan ini sendiri. Husni yang duduk di depan Hannah menatapi Hannah dengan tatapan ingin membantu, tetapi Husni tidak tahu darimana dia harus mulai.

Memang tak ada yang perlu dibahas dengan Aidan lagi, karena Aidan pun pasti akan setuju dengan segala sesuatu yang dianggap baik oleh Hannah. Tetapi Hannah sungguh sangat lelah menghadapi Aidan yang sangat tergantung dengannya itu. Pekerjaan Aidan adalah pekerjaannya, kesedihan Aidan Hanna-lah yang menanggungnya entah akan sampai kapan ketergantungan Aidan ini padanya. 

Hari yang ditentukan sudah datang. Hannah sudah bersiap di ballroom itu sejak petang tadi. Aidan berdiri di tangga sambil mengawasi kesibukan ruangan itu. Sebentar Hannah berlari ke sana sebentar berlari ke sini. Dandanannya pun sudah tidak begitu rapi lagi. Keringat membasahi dirinya, dan rambutnya pun sudah menjadi acak-acakan. Make-up wajahnya mulai luntur karena aktifitasnya. Aidan sepertinya tidak mempedulikan itu. Aidan menikmati kesibukkan itu dengan tenang dan santai. 

Pesta dansa di malam pertama sudah mulai. Banyak wanita cantik datang untuk menari atau sekedar ingin makan-makan saja. Tetapi tidak sedikit pula yang datang karena ingin bertemu dengan Aidan. Hannah, sama sekali tidak menikmati pesta dansa itu. Dia sudah sangat lelah sekali dengan persiapan itu. Hannah hanya duduk di tepi ballroom sambil menikmati makanan yang disajikan. Hingga Hannah terlonjak ketika mendengar bell yang menunjukkan tepat tengah malam. Hannah menghampiri Ayah Aidan yang tengah berdansa dengan istrinya yang cantik itu, kata Hannah pada mereka, “Bapak, saya pulang dulu. Saya sangat lelah. Takutnya besok pagi tidak bisa bangun awal.”
“Baiklah, hati-hati ya. Selamat malam.”
“Selamat malam, Pak, Bu.”
Hannah menuruni tangga hotel megah di tengah kota itu dengan lesu. Sebentar tangannya melambai ke arah sebuah taksi yang parkir di halaman depan hotel. Belum sempat tangannya membuka pintu taksi, terdengar seruan di belakangnya. Hannah berhenti sejenak, “Kenapa lagi Aidan?”
“Kenapa pulang? Ini baru jam 12 malam.”
“Aku tahu, tapi aku sangat lelah. Aku takut besok pagi aku tidak bisa bangun lebih awal. Pekerjaan di kantor masih banyak yang belum aku kerjakan.”
“Tapi pekerjaan itu bisa menunggu. Aku bisa bilang pada ayah, kalau kau cukup sibuk mengurus aku.”
“Yah…aku tahu. Ayahmu juga sudah tahu itu. Tapi tentu saja, bukan kamu yang mengatakannya. Selamat malam.” Hannah masuk ke dalam taksi itu, dan sesaat kemudian berlalu. Aidan mengejar taksi itu, tetapi sia-sia. Hannah mengisyaratkan kepada sopir untuk tetap berjalan.

Malam pesta dansa yang pertama begitu sepi tanpa Hannah. Para gadis yang semula terlihat cantik di mata Aidan, kini hanya seperti boneka-boneka buatan pabrik yang tengah menari. Tak satupun ingin Aidan dekati. Malam ini berubah menjadi malam-malam panjang yang sepi di tengah keramaian pesta dansa.

Di kantor, Hannah sesekali menguap, tak jarang pula dia merebahkan kepala di meja kerjanya. Aidan cemberut mengawasi Hannah dari dalam ruangannya. Aidan masih kesal dengan kejadian semalam. Aidan sangat ingin menunjukkan pada Hannah kalau Aidan mampu mendapatkan pasangan hidup sendiri tanpa bantuan ayahnya maupun Hannah. Tetapi itu tidak dapat terjadi karena Hannah sudah pergi sebelum pesta itu berakhir. 

Kemarahan Aidan semakin bertambah ketika tanpa diduga Pak Anwar datang ke kantor dan mengajak Hannah makan siang. Hannah tentu saja setuju untuk makan siang bersama Pak Anwar demi tercapainya kerjasama kedua perusahaan tersebut. Dan akhirnya, seharian ini tidak terjadi percakapan apapun antara Aidan dan Hannah. Dalam sejarah kehidupan mereka inilah rentang terpanjang kebisuan di antara mereka berdua. Hari Aidan menjadi sangat biru. Aidan tidak bersemangat seperti biasanya. Aidan benar-benar kehilangan energinya.  

Ini malam kedua pesta dansa, seperti biasa Hannah mempersiapkan segala urusan pesta dan urusan Aidan selengkap-lengkapnya. Bahkan dari masalah dandanan pun Hannah ikut masuk dan mendandani Aidan. Tetapi karena kemarahan Aidan pada Hannah siang ini, tak sepatah katapun terlontar dari bibir Aidan untuk Hannah. Dan seperti malam sebelumnya, Hannah hanya duduk di tepi ballroom sambil makan malam, menonton orang menari, berbincang dengan para tamu undangan atau menata kembali dekorasi yang terlepas dari tempatnya. 

Seperti malam sebelumnya pula, Hannah meninggalkan pesta pada saat tengah malam. Aidan kembali mengejarnya, tetapi kali ini Aidan sama sekali tidak berbicara, dia hanya menatap Hannah dari kejauhan. Barulah Hannah menyadari ada sesuatu yang tidak beres pada Aidan. 

Hannah kali ini berangkat ke kantor kesiangan, hingga akhirnya Hannah dipanggil oleh ayah Aidan. Aidan menatap Hannah yang melangkah menuju ruangan ayahnya dengan tidak berdaya. 
Di ruangan ayah Aidan, Hannah duduk dihadapan Pak Hendrawan yang sedang menelpon, menunggu itu memang sangat menyebalkan. Menit-menit masih berlalu dengan pembicaraan-pembicaraan Pak Hendrawan dengan orang yang ada di sisi telpon lainnya. Hannah serasa ingin melarikan diri dari kantor Pak Hendrawan. Dari nada suara Pak Hendrawan, Hannah merasa bahwa Pak Hendrawan memiliki sedikit masalah dengannya. Apalagi dengan pengabaian seperti ini. 

Akhirnya, Pak Hendrawan meletakkan telponnya dan mulai menatap wajah Hannah yang pucat itu, ucapnya, “Kau terlambat hari ini?”
“Iya, Pak.” Hannah mengangguk.
“Aku tahu kau begitu lelah dengan urusan Aidan, jadi aku tidak marah dengan hal ini. Tetapi aku mempertanyakan suatu hal, maksudku…ada apa dengan Aidan dan kamu. Seperti ada hal yang tidak mengenakan antara kau dan Aidan. Semalam Aidan nampak tidak bersemangat dalam pesta itu, maksudku, dengan atau tanpa dirimu…jika malam sebelumnya Aidan tidak bersemangat itu karena kau meninggalkannya sendiri di pesta itu, aku bisa pahami itu. Tetapi tidak dengan kejadian semalam. Sekarang coba kau jelaskan padaku mengenai hal ini.”
“Saya sungguh tidak tahu, Pak. Selama ini Aidan sangat terbuka dengan saya. Tetapi untuk kali ini saya benar-benar tidak tahu apa yang terjadi padanya atau apa yang dia inginkan. Seharian kemarin pun Aidan tidak bicara pada saya. Semalam pun tidak. Saya hanya menangkap ini sebagai suatu salam perpisahan. Mungkin Api Kecil itu sudah menjadi besar, mungkin dia sudah menemukan Api yang lain…”
“Maksudmu, Aidan sudah menemukan pasangannya…?”
“Mungkin, menurut saya, seseorang yang jatuh cinta pasti memiliki perilaku yang aneh pada awalnya. Dan mungkin Aidan belum siap dengan kedewasaan yang muncul dari dasar hatinya. Dia…dia…entahlah, kali ini saya tidak tahu apa yang terjadi dengannya, maaf…”

Percakapan itu terhenti sampai di situ. Hannah kembali bekerja dengan wajah mengantuknya, dan Aidan masih sering mengawasi Hannah dari dalam ruangannya. Aidan ingin sekali menanyakan apa yang terjadi di ruangan ayahnya, tetapi rasanya tak mungkin, wajah Hannah yang seperti itu pasti tidak enak kalau diajak bicara. 
Malam ini adalah pesta dansa terakhir Aidan. Tetapi rupanya Aidan tidak juga menemukan Cinderelanya. Itu yang dikatakan kepada ayahnya. Dan seperti malam-malam sebelumnya, Hannah pulang cepat malam ini. Dan seperti malam yang sudah-sudah, Aidan mengejar Hannah di tangga, kali ini, Aidan menahan lengan Hannah, kata Aidan pada Hannah, “Mengapa kau selalu pulang setiap jam 12 malam?”
“Bukankah sudah ku katakan, aku harus pulang cepat, besok pagi aku harus berangkat pagi-pagi ke kantor.” Kata Hannah.
“Tadi siang, ayah menegurmu ya?” Tanya Aidan lagi. Hannah hanya menganggukkan kepala saja. Aidan melepaskan genggamannya itu pada saat yang bersamaan taksi pun mendekat ke arah mereka. Kata Aidan setelah Hannah masuk ke dalam taksi, “Tahukah kamu, kamu seperti Cinderela yang meninggalkan pangerannya di pesta dansa sendirian….” Dan taksi pun berlalu. Hannah terkesiap dengan perkataan Aidan itu, Hannah menatap Aidan dari taksinya yang berlalu meninggalkan Aidan. Aidan sendiri terperangah dengan ucapan bibirnya. Aidan menatap taksi yang berlalu itu dengan mulut yang ternganga. Setelah taksi itu hilang dari halaman hotel, segera Aidan berlari masuk ke dalam ballroom dan mencari kedua orang tuanya. Serunya, “Ayah…ayah…aku sudah temukan dia, aku sudah temukan dia!!” 
“Siapa?” Tanya Ibunya yang berlari sambil mengangkat rok panjangnya.
“Hannah!” jawab Aidan. Kedua orang tua itu bertatapan dengan tak percaya, “Apa maksudmu?” Tanya Pak Hendrawan.
“Dia benar-benar Cinderela Ayah, dia benar-benar Cinderela!!”
“Apa? Cinderela apa?” Ibunya semakin tidak mengerti. Aidan tidak menjawab pertanyaan Ayah dan Ibunya. Aidan berlari keluar mengambil mobilnya dan meninggalkan Ayah Ibunya di pesta dansa dengan pertanyaan yang tak terjawab.
Tepat pada saat Hannah hendak masuk ke rumahnya, Aidan datang dengan mobilnya. Hannah berbalik ke arah datangnya mobil itu. Aidan keluar dari mobilnya, tetapi Aidan kali ini tidak langsung mendekatinya dan membuat keributan. Kali ini ada sesuatu yang tampak menahannya untuk lebih mendekati Hannah. Hannah tersenyum menyambut Aidan, kali ini pun senyum Hannah berbeda. Senyum itu tidak pernah diberikan Hannah untuk Aidan, senyum yang hanya diberikan untuk setiap lelaki yang pernah singgah di hatinya. Kata Aidan, “Hannah…aku…aku sudah temukan Cinderela itu.”
“Oya, siapa dia?” Tanya Hannah. 
“Dia…dia…orang yang ada di dekatku selama ini.”
“Siapa? Apakah aku mengenalnya?”
“Tapi aku tidak tahu, apakah dia mau menjadi Cinderela-ku atau tidak, karena aku hanya sebuah Api Kecil, aku tidak akan pernah berubah dimatanya, karena aku Aidan, yang tidak pernah menjadi Api Besar…apakah…dia…dia…kamu…mau menjadi Cinderelaku?”
“Biar aku pertegas dulu, apakah Cinderelamu itu aku?”
“Yah…kau…kau selalu pergi setiap jam 12 malam, dan aku selalu tidak bisa menikmati pesta itu  tanpa kamu. Pesta ku berakhir jika kau tak ada. Aku tak pernah bisa hidup tanpa mu. Takkan! Kau mengenal aku lebih dari diriku sendiri…aku tak pernah tahu apa yang aku inginkan, tapi kau selalu tahu apa keinginannku.”
“Aku hanya seorang anak pembantu di rumahmu…”
“Dan Cinderela juga demikian, dia seorang pembantu yang dekil….itu jika kau mau saja. Aku memang tak sehebat Pak Anwar, memang benar aku pemilik perusahaan itu, tapi aku dapatkan itu karena itu milik ayahku, aku tak seperti Pak Anwar…”
Hannah mengulum senyum, “Kau pikir aku pacar gelap Pak Anwar ya?  Bodoh…!” Hannah berlari menghambur pada Aidan dan memeluk Aidan. Kata Aidan, “Aku belum pernah dipeluk seorang perempuan pun.”
“Sudah diam! Aku tahu itu!” Bentak Hannah. Aidan tersenyum sambil mengeratkan pelukannya.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar