Blog Post ini dibuat dalam rangka mengikuti kompetisi menulis cerpen
"Tertib, Aman dan Selamat bersepeda motor di jalan"
#safetyFirst
diselenggarakan oleh:
Yayasan Astra - Honda Motor dan nulisbuku.com
“ Hendraaaa….Helm!” kata Om Boy saat
Hendra mulai menyalakan motornya.
“Cuman ke warung sate depan situ, Om.
Gak ada polisi di situ,” kata Hendra.
“Helm itu buat apa sih? Buat nakutin
polisi atau untuk keselamatan kepalamu? Ini pakai dulu,” kata Om Boy sambil
menyerahkan helm pada Hendra. Hendra menerima helm tersebut dan memakainya
dengan malas-malasan.
“Harus ada bunyi ‘klik’,” kata Om Boy
lagi.
“Iya, Om,” jawab Hendra semakin tidak
bersemangat. Setelah itu….wuzzzz…meluncurlah motor Hendra masuk ke jalan raya.
Tak berapa lama kemudian, sampailah
Hendra di warung yang dituju. Ia turun dari motornya dan disambut oleh beberapa
temannya yang kebetulan ada di situ,
“Tumben pakai helm, Ndra?” tanya Dwi
setengah meledek.
“Ahhh… ini tadi kebetulan Om Boy ke
rumah, trus Om Boy memaksa aku pakai helm,” keluh Hendra sambil menuju ke
penjual sate. “Pak, sate lima dibungkus ya,”
“Iya, Mas Hendra,” kata penjual sate
yang sibuk dengan aktifitasnya melayani pelanggan-pelanggan lainnya. Hendra
kemudian duduk-duduk sebentar dengan teman-temannya. Terlihat ia tertawa dan
bersenda gurau dengan mereka hingga pesanannya tiba. Hendra mengulurkan
sejumlah uang dan melesat cepat dengan motornya tanpa mengenakan helmnya.
Setibanya di rumah, Om Boy yang
kebetulan duduk-duduk di beranda dengan Bapak geleng-geleng kepala melihat
kedatangan Hendra.
“Hendra… Hendra… seberapa sulitnya kah
pakai helm itu?” keluh Om Boy.
“He he… lupa tadi, Om,” kata Hendra
sambil meletakkan sate kambing di meja beranda. Mendengar kedatangan Hendra,
Ibu dan adik Hendra – Lala keluar membawa piring dan sendok.
“Makannya di sini aja ya Om,” saran
Lala.
“Iya, dimana mana saja tidak apa-apa. Di
sini juga malah nikmat, sambil lihat bunga-bunganya Ibumu,” kata Om Hendra
sambil sibuk membuka kantong plastik.
“Ndra, Om punya cerita,” kata Ibu kepada
Hendra.
“Apa itu, Om,” tanya Hendra sambil
membuka plastik sate dan menuangkannya ke atas piringnya.
“Dulu, Om punya pacar cantiiikkk sekali.
Dia bernama Jasmine,”
“Ciyeeee……” ledek Lala sambil melirik
usil Om Boy.
“Hehe…” tawa Om Boy, “nah…Om pede banget
waktu pacaran sama Jasmine. Siapa sih yang tidak suka punya pacar cantik,
pinter, baik hati dan siswa berprestasi….”
“Dimana dia sekarang, Om? Kenapa Om
tidak segera menikahi dia?” potong Hendra, “kan maaf yaaa…Om sudah umur gitu. Kasihan
kan beliaunya,” kata Hendra panjang lebar.
“Pssttt….dengerin dulu cerita, Om Boy,”
kata Ibu.
“Kulanjut nih. Nah… Om dulu sering
jengkel sama Jasmine karena dia orangnya patuh dengan aturan. Sedikit sedikit
tidak boleh sedikit sedikit tidak boleh. Bahkan dulu Jasmine suka ingetin Om
untuk selalu pakai helm…..”
“Beuuhhh…ternyata dulu Om orangnya
bandel juga yaaa hahaaa….” tawa Hendra, “na kenapa tadi waktu saya keluar, saya
musti pakai helm,”
“Aiiss… dengerin dulu,” kata Bapak kali
ini.
“Suatu hari,” lanjut Om Boy, “di rumah
Kakekmu, waktu itu Jasmine main ke rumah kami. Trus Nenekmu bilang, ‘Boy,
belikan Jasmine bakso di depan’ tentu saja Om pergi dong. Tapi karena aku
pergi, makanya Jasmine ikut. Dan seperti yang sudah Om cerita di depan, Om
menolak untuk memakai helm. Jasmine bilang, ‘pakai helmnya, Boy’ tapi waktu itu
Om menolak dan malah berkata begini pada Jasmine yang sudah pakai helm, ‘masa’ cuman
di depan situ kamu pakai helm? La aku yang di depan aja gak pakai helm, masa kamu
pakai’ dengan berat hati akhirnya Jasmine melepas helmnya. Dia kuatir sepanjang
perjalanan karena tidak memakai helm. Dan Om terus meledek kekuatirannya hingga
tiba-tiba di depan kami ada motor yang tiba-tiba berhenti. Om kaget dan
mengerem mendadak. Tanpa Om sadari, ternyata Jasmine terjengkang ke belakang
dan dia… dan diaa….” Om Boy menghentikan ceritanya, menarik nafas dalam dalam.
“Dan dia kenapa, Om?” tanya Lala.
“Jasmine meninggal, Nak,” lanjut Ibu
karena Om Boy tidak dapat lagi melanjutkan ceritanya, “Jasmine gegar otak. Karena
waktu terpental, Jasmine jatuh dengan posisi terlentang dan langsung terkena
otak kecilnya. Jasmine meninggal di tempat tanpa mengeluarkan darah sedikitpun.
Waktu itu Ibu masih SMP kelas III kalau sekarang kelas XII dan waktu itu Om Boy
kelas III SLTA. Waktu itu mereka baru selesai ujian akhir sekolah,” kata Ibu
lagi.
Hendra menjadi menyesal telah meledek Om
Boy. Apalagi setelah ia tahu bahwa Om Boy telah kehilangan orang yang paling
dicintainya.
“Maafin Hendra ya, Om,” kata Hendra. Om Boy
tersenyum dan berkata,
“kenapa minta maaf?”
“Soalnya tadi sudah meledek Om Boy,”
kata Hendra lagi.
“Ya ya ya… tidak apa-apa. Om memang
nakal waktu seumuranmu. Tapi setelah kejadian menyedihkan yang menimpa Om. Om
jadi sadar bahwa keselamatan lebih penting daripada harga diri,” jelas Om.
“Iya, Om,” kata Hendra lagi. Tiba-tiba di
tengah aktifitas makannya, handphone Hendra berdering. Hendra melirik
handphone-nya dan mencoleknya dengan ujung jari kelingkingnya.
“Siapa, Ndra?” tanya Bapak.
“Ellen, Pak,” jawab Hendra kemudian
mengangkat teleponnya, “halo, kenapa?” kata Hendra, “lagi makan, ya ya ya…oke…ya…”
kata Hendra kemudian menutup teleponnya.
“Kenapa?” tanya Ibu.
“Ellen, Bu. Minta dijemput di tempat
les, karena Papanya masih rapat di kantornya, trus Mamanya lagi sibuk arisan. Kakaknya
belum pulang dari kuliah,” jelas Hendra.
“Habiskan dulu makanmu, baru pegi,” kata
Ibu.
“Iya Bu, Ellen juga bilang begitu kok,”
kata Hendra cepat-cepat menghabiskan makanannya.
Hendra tidak sempat menyimpan piring di
dapurnya, ia segera beranjak berdiri dan mengambil dua helm. Satu dipakainya
sendiri dan satu di gantung di motor. Setelah itu Hendra meluncur ke jalan
dengan motor kesayangannya.
“Ehh… kok cepat?” tanya Ellen, “tadi
katanya lagi makan,”
“Hehehe… beda kali model makannya laki
sama perempuan. Kalau laki-laki mah semenit, kalo cewek bisa satu jam,” tawa
Hendra.
“Heeehh…. Saya tidak yaaa….” kata Ellen
sambil mengambil helm dari tangan Hendra, “tumben kamu tertib lalu lintas, Hen.
Saya suka deh lihatnya,” kata Ellen.
“Hendra gitu loh,” kata Hendra sambil
memutar motornya. Kemudian Hendra melarikan motornya dengan perlahan-lahan menikmati
matahari senja yang kekuningan di ufuk barat, tiba-tiba dari arah depan ada
sebuah motor yang melaju tak terkendali. Hendra berusaha untuk menguasai
motornya dan berseru, “Elleeenn…. Pegangannnn!!!”
BRAAAKKKKKK…….
Tabrakan itu pun tak terkendali. Hendra
dan Ellen terpental di pinggir jalan persawahan, sementara pengendara lainnya
menabrak pembatas jalan. Hendra memegangi kepalanya dan berseru, “kepalaku?!” setelah
mampu menguasai dirinya, Hendra bangkit dari jatuhnya dan mencari Ellen, “Jasmine…
Jasmine…. Jasmine….” mulut Hendra komat-kamit menyebutkan nama itu.
“Siapa Jasmine?!” seru sebuah suara
marah. Hendra menatapi Ellen yang terduduk di tepi jalan sambil mengelus-elus
sikunya yang berdarah. Hendra langsung memeluk Ellen sambil menangis.
“Untung kamu pakai helm, Len. Aku sudah
takut bahwa aku akan kehilangan kamu seperti saat Om Boy kehilangan Jasmine,”
kata Hendra sambil terus menangis haru. Ellen yang tidak tahu menahu mengenai
Jasmine itu berkata, “ya ya ya… tapi lepaskan pelukanmu. Badanku sakit semua,”
“Oh oh ya….maaf,” kata Hendra.
Entah darimana datangnya mereka, tetapi
saat Hendra menoleh ke arah pengendara sepeda motor itu, Hendra sudah melihat
banyak orang datang berkerumun. Di antara mereka juga ada polisi dan tenaga
medis yang sibuk berlari mendekati Hendra dan Ellen. Dari kejauhan Hendra
melihat Ibu berlari-lari sambil menangis diikuti Bapak, Lala dan Om Boy.
“Kakaaaakkk…..!!!” seru Lala dari
kejauhan.
“Ndra…. Ellen… kalian baik-baik saja?”
tangis Ibu yang kemudian mendekati Ellen setelah memastikan bahwa Hendra
baik-baik saja.
“Om Boy!” Hendra berdiri dan dengan
terpincang-pincang ia mendekati Om Boy dan memeluknya, “maafin Hendra tidak
mendengarkan Om Boy!” haru Hendra.
“Siapa bilang kamu tidak mendengarkan? Nyatanya
hari ini kamu memakai helm dan tidak menunggu sampai hal yang dikhawatirkan
terjadi padamu,” kata Om Boy sambil menepuk-nepuk bahu Hendra, “sudah jangan
menangis. Tidak malukah kamu sama Ellen?”
Ellen yang sedang dirawat tim medis
tersenyum memandang ke arah mereka. Ibu yang semula berada di dekat Ellen, kini
datang dan memeluk Hendra dan berkata, “untung kamu mendengarkan Om Boy untuk
memakai helm. Tahukah kamu pengendara motor yang menabrak kamu itu meninggal di
tempat, dia tidak memakai helm dan yang lebih mengerikan lagi, dia masih anak
SMP dan belum terlalu pintar naik motor. Makanya Ibu berkali-kali bilang
padamu, bahwa keamanan berkendara itu penting, nak. Pake helm itu bukan karena
kita takut polisi, tetapi karena untuk keselamatan kita sendiri,” kata Ibu
sambil mengelus-elus kepala Hendra.
“Sudah…. sudah…. yang penting semuanya
baik-baik saja. Lecet lecet mah biasa, anak laki,” kata Bapak sambil
menepuk-nepuk Bapak.
“Aduuhh… sakiiiit, Pak. Terkilir kakiku,”
rengek Hendra.
“Heehh… Bapak menepuk bahu kok bisa
terasa sampai di kaki. Dasar anak manja.”
“Itu, Kak. Makanya lain kali hati-hati
kalau berkendaraan di jalan, ikutin aturan yang sudah ditetapkan, perhatikan
juga kepentingan orang lain, biar kita semua bisa selamat,” kata Lala.
“Iihh… kamu, La. Kok kaya iklan di tivi,
yaaakkk….”
“Heeehhh….Kakaaaakkkkkkkk!!!” geram
Lala.